BeritaPerbankan – Transformasi digital di sektor keuangan dan perbankan adalah sebuah keniscayaan. Akselerasi digitalisasi bahkan tumbuh pesat di masa pandemi. Perkembangan teknologi yang terjadi di sektor keuangan dan perbankan di satu sisi berdampak positif, diantaranya akses terhadap produk-produk keuangan semakin luas menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjamah oleh pelayanan perbankan.
Namun peningkatan digitalisasi keuangan akan menimbulkan efek samping jika tidak diimbangi dengan literasi keuangan yang baik dari masyarakat. Pemahaman terhadap produk-produk keuangan wajib dimiliki masyarakat agar terhindar dari kerugian atau bahkan aksi penipuan.
Bukan kali pertama masyarakat menjadi korban investasi bodong, tipu-tipu arisan online, penipuan modus social engineering yang semakin marak terjadi, yang disebabkan, salah satunya oleh minimnya pengetahuan orang tentang karakteristik produk keuangan, risiko hingga kurangnya kesadaran dalam menjaga data pribadi.
“Bank Indonesia meyakini pada saat yang sama [akselerasi] digitalisasi meningkatkan berbagai risiko, seperti risiko siber, risiko perlindungan data pribadi, dan fintech ilegal,” kata Retno Ponco Windarti, Kepala Grup Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI).
Kepala Eksekutif LPS, Lana Soelistianingsih mengatakan peningkatan digitalisasi sektor keuangan dan perbankan harus diikuti dengan peningkatan inklusi dan literasi keuangan.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022, indeks inklusi keuangan tercatat naik menjadi 85,10 persen dibandingkan SNLIK tahun 2019 yang berada di level 76,19.
Sementara indeks literasi keuangan 2022 mengalami pertumbuhan dari 38,16 pada tahun 2019 menjadi 49,68. Meskipun terjadi peningkatan, indeks literasi keuangan masih perlu mengejar ketertinggalan dari inklusi keuangan.
Lana mengungkapkan peningkatan inklusi keuangan didorong oleh penggunaan gawai pintar dan internet yang terus meningkat. Namun demikian literasi keuangan masih menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera dikerjakan agar digitalisasi dan inklusi keuangan yang tumbuh positif dapat diimbangi dengan pemahaman masyarakat tentang keuangan dan perbankan.
“Pada tahun 2022, indeks literasi keuangan masih sebesar 49,68%. Hal ini berarti kita perlu berupaya bersama-sama untuk terus meningkatkan sosialisasi semacam Great Edu ini supaya pemahaman masyarakat atas instrumen keuangan semakin meningkat,” tambahnya.
Lana menjelaskan pemahaman atas produk keuangan berkontribusi besar dalam meningkatkan kualitas inklusivitas pasar keuangan.
“Idealnya, peningkatan inklusi pasar keuangan perlu terus didorong untuk berdampingan dengan peningkatan literasi supaya inklusivitas pasar keuangan kita semakin berkualitas,” jelasnya.
LPS senantiasa meningkatkan masyarakat untuk waspada terhadap penawaran investasi ilegal, khususnya bagi generasi muda yang baru mulai berinvestasi.
Lana meminta calon investor untuk melakukan cek terhadap 2L yaitu Legal dan Logis, sebelum menentukan pilihan produk inevstasi.
Legal artinya produk investasi dan perusahaan/lembaga yang menawarkan produk tersebut sudah terdaftar dan memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Logis berarti keuntungan atau return dari investasi harus masuk akal. Jangan tergiur dengan janji keuntungan besar dalam waktu singkat dengan rayuan investasi tanpa risiko. padahal setiap produk investasi pasti memiliki risiko masing-masing.
Apabila ingin berinvestasi pada produk keuangan perbankan maka pastikan simpanan tersebut memenuhi Syarat 3T agar mendapatkan penjaminan hingga Rp 2 miliar dari LPS.
Syarat 3T adalah simpanan tercatat di sistem pembukuan bank, tidak menerima bunga simpanan di atas tingkat bunga penjaminan dan tidak menyebabkan bank gagal seperti kasus kredit macet.
Untuk meningkatkan literasi keuangan di masyarakat, LPS berupaya terus bersinergi dengan berbagai lembaga seperti otoritas perbankan dan keuangan, akademisi dan komunitas.