BeritaPerbankan – Merespon adanya 11 bank perekonomian rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) yang dicabut izin usahanya sejak Januari hingga Mei 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa keputusan mempailitkan bank-bank tersebut telah melalui rangkaian proses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, saat BPR/BPRS teridentifikasi bermasalah, maka Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai otoritas resolusi bank akan melakukan upaya penyelamatan terhadap bank yang berpotensi masih dapat diselamatkan. Namun jika dalam pengamatan LPS bank tersebut tidak bisa diselamatkan, maka OJK akan mencabut izin usaha bank yang bermasalah itu.
Dian menjelaskan bahwa BPR/BPRS yang ditutup oleh OJK biasanya memiliki masalah, seperti pelanggaran dan ketidakpatuhan terhadap regulasi. Namun, dia menegaskan bahwa saat ini BPR/BPRS telah mematuhi aturan dengan baik.
Dia juga mengungkapkan bahwa sebelum melakukan penutupan bank, OJK memberikan waktu selama satu tahun bagi LPS untuk melakukan upaya penyehatan BPR. Hal ini dilakukan agar bank yang bermasalah tidak berdampak negatif terhadap keberlangsungan bisnis industri perbankan, khususnya perbankan BPR/BPRS.
LPS memiliki wewenang memutuskan untuk melakukan upaya penyehatan atau tidak terhadap bank sakit. Keputusan itu didasari atas hasil pengamatan dan evaluasi dari kondisi bank itu sendiri. Namun LPS memastikan keputusan yang diambil merupakan bentuk komitmen LPS dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
“Ketika waktunya sudah habis akan diserahkan LPS, LPS bukan hanya membayar tapi juga memilih diselamatkan atau tidak diselamatkan,” ujarnya.
Untuk memperkuat BPR/BPRS, ia menjelaskan bahwa salah satu aspek kunci dalam rencana Pengembangan dan Penguatan Industri BPR/BPRS 2024-2027 adalah percepatan proses konsolidasi BPR/BPRS.
OJK akan terus memperkuat kebijakan single presence policy, yang mewajibkan setiap BPR/BPRS hanya dimiliki oleh satu orang.
“Tentang kebijakan single presence policy, mereka yang memiliki beberapa BPR tidak diizinkan, sehingga hanya diperbolehkan memiliki satu BPR saja. Namun, BPR lain tidak akan ditutup, tetapi akan dijadikan cabang,” ungkapnya.
Selain itu, BPR/BPRS juga harus memenuhi kewajiban permodalan inti sebesar Rp6 miliar. Dia menjelaskan bahwa jika pemegang saham utama tidak mampu menambah modal, maka konsolidasi akan dilakukan secara sukarela.
Dian menjelaskan bahwa langkah tersebut bertujuan untuk mempercepat pencapaian modal inti BPR/BPRS sebesar Rp6 miliar. Selain itu, upaya untuk memperkuat dan meningkatkan efisiensi BPR/BPRS yang beroperasi terus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas kinerja perbankan.
“Melalui proses konsolidasi, kita dapat meningkatkan kinerja dan kontribusi BPR dibandingkan dengan tidak melakukan konsolidasi,” katanya.
Selain itu, OJK telah merilis peta jalan Pengembangan dan Penguatan Industri Bank Perekonomian Rakyat/Syariah (BPR/BPRS) 2024-2027. Peta jalan ini mencakup tiga aspek utama, yaitu penguatan permodalan, akselerasi konsolidasi, dan penguatan tata kelola.
Dian menambahkan bahwa peta jalan tersebut disusun sebagai kebijakan untuk memperkuat dan mengembangkan industri BPR/BPRS, sekaligus upaya dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
“Dalam peluncuran roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR/BPRS (RP2B) di Jakarta, Senin (20/5/2024), Dian menyatakan bahwa peta jalan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam empat pilar, termasuk inisiatif dan rencana aksi yang menjadi kunci untuk mencapai tujuan peta jalan tersebut.”
Visi RP2B 2024-2027 adalah menjadikan BPR/BPRS sebagai bank yang berintegritas, kuat, dan memberikan kontribusi dalam menyediakan akses keuangan bagi usaha mikro dan menengah, serta pelayanan yang menjangkau masyarakat di berbagai daerah.