Beritaperbankan – Kehadiran Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) seakan menjadi buah dari pelajaran berharga krisis ekonomi dahsyat pada 23 tahun yang lalu tepatnya 1998. Puluhan bank ambruk, padahal Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara.
Krisis ekonomi pada 1997-1998 telah memberi pelajaran yang berharga bahwa kepercayaan masyarakat dan stabilitas sistem perbankan itu sangat mahal harganya. Krisis ekonomi 1998 adalah masa-masa terberat untuk dunia perbankan di Indonesia.
Saat itu, International Monetary Fund (IMF) meminta pemerintah untuk menutup 16 bank kecil. Dikutip dari situs resmi Bank Indonesia (BI), bahkan puluhan bank yang tercatat harus ditutup sepanjang tahun 1990-an.
Saat krisis ekonomi 1997-1998 setelah 16 bank ditutup, diikuti 38 bank pada 1999. Pada tahun 2004 juga, Bank Dagang Bali dan Bank Aspac dilikuidasi dan terakhir, Bank Global ditutup pada 2005.
Dana asing cabut besar-besaran hingga pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi faktor banyaknya perusahaan yang bangkrut termasuk perbankan. Berawal dari penutupan 16 bank umum, krisis menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keamanan menempatkan dananya pada sistem perbankan.
Ketidakpercayaan tersebut kemudian mendorong masyarakat untuk menarik simpanannya secara besar-besaran dari sistem perbankan (bank run / bank rush). Dana yang ditarik nasabah tersebut sebagian dilarikan ke luar negeri dan menyebabkan capital flight, sebagian dibelikan valuta asing, serta sebagian dibelanjakan untuk keperluan konsumtif yang mengakibatkan tingkat inflasi melonjak drastis. Hal itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok hingga Rp 16.000 per USD.
Untuk mengatasi dampak buruk dari penarikan dana tersebut serta sebagai upaya menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, pemerintah mengeluarkan kebijakan penjaminan terhadap seluruh kewajiban pembayaran bank umum dan BPR (blanket guarantee) melalui Keppres Nomor 26 dan Nomor 193 Tahun 1998.
Di samping kebijakan tersebut, dalam rangka memperbaiki kinerja perbankan dan memperkuat struktur permodalan bank, pemerintah melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan yang seluruhnya menelan biaya yang luar biasa besarnya.
Pendirian LPS
Kebijakan blanket guarantee telah terbukti menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Akan tetapi, di sisi lain dapat membebani keuangan negara dan menimbulkan moral hazard, yakni insentif bagi bankir atau nasabah untuk mengambil risiko yang lebih besar dikarenakan adanya penjaminan simpanan.
Dengan pertimbangan perlunya menjaga kepercayaan masyarakat dan meminimalkan dampak negatif dari blanket guarantee, pemerintah menetapkan untuk secara bertahap mengurangi lingkup penjaminan dan hanya akan memberikan jaminan terhadap simpanan dalam jumlah terbatas (limited guarantee).
Kebijakan tersebut dituangkan dalam ketentuan pasal 37B UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatur bahwa setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin dana masyarakat tersebut, pemerintah membentuk suatu lembaga penjamin simpanan.
Sebagai implementasinya, pada tanggal 22 September 2004 ditetapkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). LPS dirancang sebagai suatu unsur penting dalam jaring pengaman sistem keuangan (financial safety net) yang merupakan praktik terbaik di banyak negara
Keberadaan LPS untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang kuat, bertumbuh, dan sehat. Fungsi LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank maupun melakukan penyelamatan bank gagal merupakan bagian penting pada perlindungan kepada nasabah perbankan.
Selain itu, peran LPS dalam mendukung stabilitas sistem perbankan juga dapat berkontribusi mendorong pertumbuhan perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.