BeritaPerbankan – Industri perbankan nasional kini dihadapkan pada meningkatnya fenomena ‘makan tabungan’ atau yang populer disebut dengan istilah ‘mantab’. Fenomena ini muncul akibat kondisi ekonomi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Direktur Bank Central Asia (BCA), Santoso, menjelaskan bahwa dalam 3 hingga 6 bulan terakhir, banyak masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, termasuk kelas menengah hingga atas, terpaksa menguras saldo tabungan mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Menurut Santoso, fenomena ini mencerminkan bahwa pemulihan ekonomi nasional belum berjalan dengan optimal. Banyak nasabah, terutama dari segmen menengah ke bawah, terpaksa menggunakan tabungan mereka untuk kebutuhan primer karena kondisi bisnis yang masih mengalami pelambatan.
“Bisnis memang masih berjalan, tetapi pertumbuhannya mulai melambat. Banyak pebisnis mengalami perlambatan dalam beberapa waktu terakhir,” ungkap Santoso.
Santoso juga menggarisbawahi bahwa fenomena ini tidak hanya mempengaruhi nasabah individu, tetapi juga berdampak pada sektor korporasi. Banyak perusahaan yang harus melakukan efisiensi biaya untuk bertahan di tengah situasi ekonomi yang menantang. Beberapa perusahaan bahkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), yang pada akhirnya membuat masyarakat kehilangan sumber penghasilan utama dan harus mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup.
Meskipun terdapat beberapa indikator ekonomi makro yang mulai menunjukkan perbaikan, seperti penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, tantangan bagi sektor perbankan masih cukup besar. Penurunan dana pihak ketiga (DPK) akibat fenomena ‘mantab’ berdampak pada laju pertumbuhan bisnis bank, yang kini mengalami perlambatan.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa rata-rata saldo tabungan masyarakat pada April 2024 menurun drastis menjadi Rp1,8 juta per nasabah, dibandingkan dengan Rp3 juta per nasabah pada tahun 2019. Penurunan signifikan ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mulai kehabisan tabungan untuk bertahan hidup, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil.
Dalam laporan terbaru LPS, tercatat bahwa jumlah rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta mengalami peningkatan yang signifikan sepanjang tahun 2024. Pada Juli 2024, terdapat 580,01 juta rekening dengan saldo di bawah Rp100 juta, yang setara dengan 98,8 persen dari total rekening di perbankan Indonesia. Jumlah ini meningkat 11,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), menandakan bahwa semakin banyak masyarakat yang memiliki tabungan terbatas.
Di sisi lain, segmen masyarakat dengan saldo jumbo (di atas Rp5 miliar) justru mengalami pertumbuhan. Pada Juli 2024, terdapat 142.324 rekening dengan saldo di atas Rp5 miliar, yang tumbuh sebesar 3,6 persen sepanjang tahun berjalan dan 8,6 persen secara tahunan.
Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar masyarakat mengalami kesulitan finansial, segmen masyarakat dengan kekayaan tinggi masih mampu meningkatkan simpanan mereka.
Perbedaan mencolok antara pertumbuhan rekening saldo kecil dan saldo besar mencerminkan adanya ketimpangan dalam distribusi kekayaan. Bagi sektor perbankan, fenomena ini menjadi tantangan besar. Di satu sisi, banyak nasabah dengan saldo kecil yang mengandalkan simpanan untuk bertahan hidup, sementara nasabah dengan saldo besar tetap dapat menambah kekayaan mereka.
Fenomena ‘mantab’ yang semakin meluas menandakan bahwa pemulihan ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan sangat dibutuhkan agar masyarakat tidak terus-menerus mengandalkan tabungan mereka untuk bertahan hidup.
Pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan yang tepat, seperti penurunan suku bunga dan dorongan investasi untuk membantu memperbaiki kondisi ekonomi. Selain itu, momentum politik seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada 2024 juga diharapkan dapat mendorong kebijakan yang lebih kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.