BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat dalam kurun waktu 19 tahun terakhir ini, sebanyak 137 bank di Indonesia telah dihentikan izin operasionalnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dari jumlah tersebut, 123 bank merupakan Bank Perekonomian Rakyat (BPR), 13 BPRS dan satu bank umum.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa seluruh bank yang dicabut izin usahanya, sebagian besar telah selesai dilikuidasi. Hal ini diungkapkan Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI. Selain itu, LPS juga telah menyelesaikan hak-hak nasabah melalui program penjaminan simpanan, dengan nilai penjaminan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank, segera setelah bank dinyatakan bangkrut atau dicabut izin usahanya.
Purbaya melaporkan pada tahun 2024, tercatat sebanyak 15 BPR dan BPRS telah kehilangan izin operasionalnya. Ia menegaskan tumbangnya sejumlah BPR tersebut sebagian besar diakibatkan karena tata kelola perusahaan yang buruk, ditambah dengan adanya sejumlah dugaan kasus pidana perbankan yang dilakukan oleh oknum internal bank.
Meski demikian, LPS memastikan kondisi perbankan BPR maupun perbankan secara umum masih dalam kondisi yang stabil dan aman. Masih terdapt ribuan bank yang sehat dan siap memberikan pelayanan terbaik bagi nasabah di seluruh penjuru Indonesia. Purbaya menambahkan, saat ini masih ada 17 BPR-BPRS yang sedang dalam proses likuidasi, dua di antaranya baru masuk daftar pada tahun 2024.
Dalam pertemuan dengan Komisi XI DPR RI, Purbaya juga menyampaikan capaian LPS yang berhasil menyelamatkan satu BPR yang sebelumnya berada dalam status resolusi. BPR Indramayu, yang sempat ditetapkan oleh OJK sebagai bank bermasalah, berhasil dipulihkan dan kembali beroperasi secara normal pada bulan Mei 2024
Purbaya menjelaskan bahwa langkah penyehatan ini menjadi sinyal positif bahwa tidak semua bank yang bermasalah harus ditutup, melainkan dapat diperbaiki melalui intervensi yang tepat. Kesuksesan tersebut diharapkan menjadi contoh bagi bank lain yang mengalami kesulitan serupa.
Selain pencapaian dalam penyelamatan bank, LPS juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam hal efisiensi likuidasi. Hingga akhir triwulan ketiga tahun 2024, LPS berhasil menyelesaikan proses likuidasi terhadap dua BPR, yaitu BPR Pasar Umum dan BPR Persada Guna, dengan waktu penyelesaian rata-rata hanya 15 bulan. Ini adalah pencapaian yang cukup signifikan, mengingat kompleksitas proses likuidasi yang biasanya memakan waktu lebih lama.
Tidak hanya itu, LPS juga mencatat peningkatan dalam kecepatan pembayaran klaim kepada nasabah yang terkena dampak penutupan bank. Hingga triwulan ketiga 2024, LPS mampu menyelesaikan pembayaran pertama kali dan sebagian besar simpanan layak bayar dalam waktu rata-rata lima hari kerja setelah pencabutan izin usaha bank. Waktu ini lebih cepat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana penyelesaian klaim memerlukan waktu yang lebih lama.
Efisiensi dalam proses likuidasi dan pembayaran klaim ini tidak hanya menguntungkan nasabah, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional. Ke depan, LPS perlu terus memperkuat kolaborasi dengan OJK dan pemangku kepentingan lainnya untuk menghadapi berbagai potensi risiko yang mungkin muncul.
“Kalau dulu kami dikenal sebagai ‘malaikat maut’, karena kalau LPS datang, bank akan tutup. Sekarang kami ingin menjadi ‘sahabat nasabah’. Jika LPS hadir, nasabah bisa tenang karena uang mereka aman,” ujarnya.
LPS terus berkomitmen untuk meningkatkan efisiensi dalam berbagai aspek, baik dalam proses likuidasi maupun pembayaran klaim. Dengan semakin kompleksnya tantangan di industri perbankan, terutama di tengah dinamika ekonomi global yang bergejolak, LPS diharapkan dapat terus memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sistem perbankan di Indonesia.