BeritaPerbankan – Komitmen Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk merealisasikan Program Penjaminan Polis (PPP) tepat waktu ditunjukkan dengan sejumlah persiapan yang dilakukan sejak tahun 2023, sesaat setelah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UUP2SK) resmi disahkan.
Jaminan untuk polis asuransi ini merupakan upaya dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional dan melindungi hak-hak pemegang polis asuransi saat perusahaan asuransi mengalami permasalahan seperti gagal bayar hingga dicabut izin usahanya.
Kepala Kantor Persiapan PRP dan Hubungan Lembaga LPS, Herman Saheruddin, mengatakan bahwa LPS siap menjalankan amanat UU P2SK sebagai penyelenggara program penjaminan polis, yang dijadwalkan mulai berlaku efektif pada Januari 2028. Program ini bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari perusahaan asuransi yang kehilangan izin usahanya.
Dalam implementasinya, LPS akan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menentukan perusahaan asuransi yang memenuhi persyaratan tertentu sehingga bisa menjadi peserta PPP. Perlindungan ini hanya akan mencakup produk asuransi tertentu yang bersifat proteksi, tidak termasuk asuransi sosial dan asuransi wajib. Mekanisme penjaminan polis ini akan diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah yang akan segera diterbitkan.
“Program ini dirancang untuk memberikan jaminan melalui pengalihan portofolio polis atau pengembalian hak kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dengan batas maksimal penjaminan yang nantinya akan ditetapkan oleh peraturan pemerintah,” jelas Herman.
Menjawab tantangan dari amanat baru ini, LPS telah melakukan berbagai persiapan, termasuk penyesuaian struktur organisasi. LPS telah menambahkan Direktorat baru yang bertugas khusus dalam pelaksanaan Program Penjaminan Polis. Di samping itu, langkah-langkah penting juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia (SDM), menyusun proses bisnis yang efisien, dan menyiapkan perangkat tata kelola yang sesuai dengan regulasi.
“Kami terus berkomitmen mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk implementasi PPP, termasuk menyelesaikan regulasi teknis yang diperlukan agar program ini dapat berjalan dengan baik dan efektif,” tutup Herman.
Persiapan tersebut juga mencakup penyusunan peraturan-peraturan pendukung seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan LPS, dan aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Komisioner. Di tahun mendatang, LPS akan lebih fokus pada pengembangan blueprint IT yang diperlukan untuk menjalankan PPP, termasuk peningkatan kompetensi SDM yang terkait, serta pengembangan sistem teknologi informasi (IT) yang akan mendukung pelaksanaan program tersebut.
Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, LPS juga terus berinovasi, salah satunya mempercepat proses pembayaran klaim simpanan bagi nasabah bank yang telah dilikuidasi. Hal ini dinilai penting untuk menjaga kepercayaan nasabah dan memastikan keamanan dana simpanan masyarakat dalam situasi bank mengalami kebangkrutan atau dicabut izin usahanya.
Melalui program penjaminan simpanan yang telah berjalan sejak tahun 2005, LPS menjamin simpanan nasabah bank hingga Rp2 miliar per nasabah per bank saat bank mengalami kebangkrutan hingga izin operasionalnya dicabut. Dalam perkembangannya, kekinian LPS mengklaim telah mampu memangkas waktu pembayaran klaim simpanan nasabah, dengan rata-rata pencairan tahap pertama hanya membutuhkan waktu 5 hari kerja, terhitung sejak bank dicabut izin usahanya oleh OJK.
“Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kecepatan proses ini jauh meningkat. Sebagai contoh, pada tahun 2020, proses pembayaran klaim untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang dilikuidasi memerlukan waktu hingga 14 hari kerja. Kini, rata-rata pembayaran klaim tahap pertama hanya membutuhkan lima hari kerja,” ujar Herman dalam acara pertemuan media di Jawa Tengah dan DIY, Sabtu (2/11/2024).