BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bersiap menjalankan amanah baru berdasarkan Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK), salah satunya yaitu memperluas cakupan penjaminan dengan menjamin polis asuransi, yang akan mulai diimplementasikan pada tahun 2028.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengakui bahwa keputusan ini diambil melalui proses yang penuh pertimbangan dan dinamika. Dalam sebuah perbincangan di podcast ‘The Fundamentals’ milik IDX Channel, Purbaya menceritakan keterlibatan dirinya sejak awal pembahasan kebijakan ini di DPR.
“Waktu itu saya ditanya Komisi XI DPR, ‘Mau enggak LPS menjamin polis?’ Jujur saja, saya bilang, ‘Enggak mau. Banyak kerjaan, industrinya juga kusut’,” ujar Purbaya sambil tersenyum mengingat kembali momen itu, Rabu (2/7/2025).
Namun, seiring proses berjalan, kalkulasi rasional dan efisiensi biaya menjadi pertimbangan utama. Menurutnya, membentuk lembaga penjaminan baru akan jauh lebih mahal dan tidak efisien.
“Saya ditanya lagi, ‘Yang paling murah bagaimana?’ Ya ditempel ke LPS jawabannya. Dan saya enggak bisa bohong,” tambahnya.
Keputusan memperluas mandat LPS ini tidak terlepas dari rentetan krisis kepercayaan yang melanda industri asuransi dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus gagal bayar, kaburnya pemilik perusahaan asuransi, dan hilangnya dana nasabah membuat publik kehilangan keyakinan pada industri ini.
“Beberapa tahun belakangan, kita dengar banyak kasus asuransi jiwa bermasalah. Bahkan ada yang pemiliknya kabur ke luar negeri, uang nasabah hilang begitu saja. Ini menciptakan keresahan dan membuat masyarakat ragu terhadap industri asuransi,” jelas Purbaya.
Ia menekankan bahwa keberadaan industri asuransi yang sehat sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti dana di sektor perbankan yang cenderung bersifat jangka pendek, dana dari premi asuransi bersifat jangka panjang. Hal ini penting untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang juga berjangka panjang, sehingga dapat mencegah ketidaksesuaian jatuh tempo (maturity mismatch).
“Dana asuransi itu bisa bertahan lama, tidak seperti deposito yang bisa ditarik dalam satu atau enam bulan. Kalau uang masyarakat banyak di asuransi, itu bisa dimanfaatkan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur jangka panjang. Kita butuh industri ini untuk memperkuat sistem keuangan kita,” katanya.
Purbaya juga mengingatkan, citra buruk industri asuransi lebih merugikan perusahaan dalam negeri ketimbang asing.
“Kalau kepercayaan publik rusak, yang kena justru perusahaan asuransi lokal. Ini malah membuka peluang dominasi asing,” ujarnya prihatin.
Melalui perluasan skema penjaminan ini, LPS berharap bisa membantu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sektor asuransi, terutama perusahaan-perusahaan domestik yang saat ini menghadapi tekanan kepercayaan dari publik.
“Saya juga enggak tahu apakah program penjaminan ini nantinya akan berhasil penuh atau tidak. Tapi yang jelas, harapan kita adalah kepercayaan publik bisa pulih, khususnya terhadap perusahaan asuransi lokal. Dengan begitu, mereka bisa lebih berperan di industri ini,” pungkasnya.
Berbagai persiapan terus dilakukan oleh LPS, berkolaborasi dengan pihak-pihak berwenang lainnya, khususnya dalam hal perumusan regulasi dan tata cara pelaksanaan program penjaminan polis, termasuk nilai polis yang dijamin oleh LPS saat perusahaan asuransi mengalami gagal bayar. Pada dasarnya program ini mirip dengan program penjaminan simpanan perbankan yang telah dilakukan sejak 2005.
Purbaya memastikan bahwa hanya perusahaan asuransi dengan keuangan yang sehat yang dapat menjadi peserta program penjaminan polis. Ia meminta industri asuransi segera berbenah sebelum program ini dimulai pada tahun 2028 mendatang.