BeritaPerbankan – Berdasarkan amanat Undang-Undang No 4 Tahun 2023 tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UU P2SK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditugaskan untuk melaksanakan Program Penjaminan Polis (PPP), yang ditargetkan mulai beroperasi pada tahun 2028 atau lima tahun sejak UU P2SK disahkan.
Dukungan dan masukan terhadap Lembaga Penjamin Polis (LPP) dalam menyukseskan program ini datang dari para pelaku bisnis asuransi dan asosiasi, salah satunya Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI). Ketua Dewan Pengurus AAUI, Budi Herawan, mengungkapkan bahwa asosiasi telah memberikan masukan terkait program penjaminan polis ini. Para pemangku kepentingan LPP, termasuk LPS dan regulator, turut berperan dalam pembentukan lembaga tersebut.
“Memadukan berbagai elemen tidaklah mudah. Kami telah mulai mempelajari model LPP di Korea Selatan dan Malaysia, namun bentuknya berbeda,” ujar Budi.
Budi menambahkan bahwa pihaknya masih membuka berbagai kemungkinan terkait format penjaminan polis yang paling sesuai untuk pasar Indonesia. Persiapan selama lima tahun ini diharapkan mampu merumuskan berbagai regulasi yang akan mengatur jalannya program penjaminan polis, sehingga manfaat dari program ini dapat dirasakan oleh masyarakat selaku pemegang polis dan perusahaan penyedia asuransi.
“Kami masih mencari pola yang pas untuk penjaminan polis di Indonesia, apakah akan berbentuk individu, korporat, atau kombinasi dari keduanya,” imbuhnya.
Tujuan dari program penjaminan polis adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak pemegang polis asuransi saat perusahaan asuransi mengalami kebangkrutan dan gagal bayar. Seperti yang telah dilakukan oleh LPS terhadap simpanan nasabah perbankan, nantinya para pemegang polis akan mendapatkan ‘ganti rugi’ atas polis yang bermasalah akibat dicabutnya izin usaha perusahaan asuransi.
Budi juga menyoroti tantangan dalam melaporkan data statistik terkait asuransi umum, termasuk memastikan validitas dan akuntabilitas data tersebut. Dia menjelaskan bahwa implementasi LPP di Jepang memerlukan upaya maksimal, sehingga Indonesia juga membutuhkan pembahasan matang untuk persiapan dan pelaksanaannya.
“Kita hanya punya waktu tiga tahun untuk membentuk LPP. Tahun depan, Kepala Eksekutif-nya sudah harus dipilih,” terangnya.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan persiapan menuju pelaksanaan program penjaminan polis terus dilakukan sejak tahun 2023, untuk memastikan seluruh aspek yang dibutuhkan dalam mendukung kelancaran program ini dapat terpenuhi sebelum program ini beroperasi pada tahun 2028 mendatang.
“Batas waktu maksimal persiapan pelaksanaan program penjaminan polis ini akan dilakukan dalam waktu lima tahun sejak diberlakukannya UU PPSK. Pada tahun ini LPS akan fokus pada penyusunan desain organisasi, proses bisnis, tata kelola dan kewajiban KPS,” ujar Purbaya.
Purbaya menerangkan bahwa mandat baru ini bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang kehilangan perlindungan asuransi akibat pencabutan izin usaha perusahaan asuransi yang mengalami masalah keuangan.
Dalam pelaksanaan Program Penjaminan Polis (PPP), LPS memiliki peran untuk menjamin polis asuransi dan menangani penyelesaian perusahaan asuransi melalui likuidasi. Program ini dirancang untuk melindungi pemegang polis dengan mewajibkan setiap perusahaan asuransi yang ikut serta untuk memenuhi standar kesehatan tertentu. Seleksi perusahaan asuransi yang dapat berpartisipasi dalam program ini dilakukan oleh LPS, dan penilaian kesehatan perusahaan akan diselaraskan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Purbaya menambahkan, pada tahun 2025, LPS akan fokus pada tahap persiapan infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Selanjutnya, pada periode 2026-2027, LPS akan menyelesaikan seluruh tahapan yang diperlukan serta melakukan evaluasi secara berkala pada setiap tahapan tersebut. Pada tahun 2028, Program Penjaminan Polis (PPP) akan diimplementasikan secara penuh.
“Harapannya, dengan peran LPS sebagai penjamin polis asuransi, kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi di Indonesia akan semakin meningkat,” ujar Purbaya.
Di sisi lain, Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI), Yulius Billy Bhayangkara, menekankan bahwa pemangku kepentingan LPP tidak hanya berasal dari industri asuransi, tetapi juga regulator dan LPS. Industri asuransi akan menggelar Indonesia Insurance Summit 2024 yang salah satu temanya adalah persiapan LPP.
“Kami ingin belajar dari berbagai pihak. Forum ini akan menjadi menarik karena diharapkan semua pemangku kepentingan hadir dan berdiskusi mengenai pola yang tepat untuk Indonesia,” ujar Yulius.
Sebelumnya, OJK mengungkapkan harapannya bahwa Program Penjaminan Polis (PPP) dapat menjadi solusi bagi pemegang polis yang mengalami masalah klaim. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyoroti bahwa gagal bayar klaim yang terjadi di perusahaan asuransi berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian di tanah air.
“Gagal bayar klaim dan manfaat polis yang terjadi akhir-akhir ini memang menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada industri perasuransian,” ujar Ogi.
Melalui kolaborasi antara AAUI, LPS, OJK dan para pemangku kepentingan lainnya diharapkan persiapan pelaksanaan program penjaminan polis dapat berjalan efektif dan mampu memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.