BeritaPerbankan – Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) semakin memperkuat peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menjaga stabilitas sistem perbankan di Indonesia.
Seiring dengan berlakunya UU P2SK, LPS tak hanya berperan sebagai paybox atau penanggung risiko kerugian, tetapi juga beralih menjadi risk minimizer. LPS kini dilengkapi dengan fungsi surveilans dan keterlibatan awal (early involvement) dalam menangani permasalahan perbankan, bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS, Suwandi, dalam acara Temu Media yang digelar di Bandung pada Sabtu, 19 Oktober 2024. Menurut Suwandi, perubahan ini memberikan LPS fleksibilitas dalam menangani bank yang bermasalah sebelum mencapai tahap pencabutan izin usaha dan likuidasi.
Salah satu inovasi yang diperkenalkan oleh LPS adalah metode baru dalam penanganan Bank Dalam Resolusi (BDR). Suwandi menjelaskan bahwa LPS kini memiliki beberapa opsi untuk mencegah kebangkrutan bank, seperti investor gathering yang menawarkan aset-aset bank kepada calon investor. Dengan inovasi ini, LPS telah berhasil menyehatkan kembali sebuah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indramayu pada Mei 2024, yang sebelumnya berada dalam kategori BDR.
“Inovasi ini memungkinkan LPS untuk terlibat lebih dini dalam penanganan bank bermasalah, sehingga kami dapat melakukan langkah penyelamatan dengan melibatkan investor sebelum bank tersebut dilikuidasi,” ujar Suwandi.
UU P2SK memberikan LPS kewenangan yang lebih luas dalam menangani bank yang berada di ambang kegagalan. Dengan adanya undang-undang ini, LPS dapat menjajaki calon investor yang berminat untuk mengambil alih aset dan kewajiban bank.
Metode ini memberikan keuntungan karena LPS tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk membayar klaim penjaminan jika bank dilikuidasi. Di sisi lain, inovasi ini juga diharapkan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional dan menjaga kepercayaan nasabah terhadap industri perbankan.
“Dengan opsi ini, kami dapat menghemat dana yang seharusnya digunakan untuk membayar klaim penjaminan jika bank harus ditutup,” kata Suwandi.
Selain itu, Suwandi mengatakan bahwa LPS secara aktif mendorong bank untuk menyusun rencana resolusi, sebagai bagian dari upaya mitigasi risiko yang lebih baik di sektor perbankan. Rencana resolusi ini berfungsi sebagai panduan bagi LPS dalam menangani bank gagal dan mencakup langkah-langkah mitigasi risiko yang komprehensif, termasuk menghadapi krisis likuiditas atau modal. Bank wajib menyusun, menyampaikan, serta memperbarui rencana resolusinya sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh LPS.
“Mencegah kegagalan bank lebih baik daripada mengatasi dampaknya setelah terjadi,” jelas Suwandi.
Dalam kesempatan yang sama, Suwandi juga mengangkat pentingnya penerapan Single Customer View (SCV) di sektor perbankan. SCV merupakan sistem informasi yang memberikan gambaran menyeluruh terkait simpanan dan pinjaman setiap nasabah di sebuah bank. Dengan SCV, LPS dapat mempercepat proses pembayaran klaim penjaminan jika suatu bank dilikuidasi.
“Tanpa SCV, akan sulit bagi LPS untuk mempercepat pembayaran klaim penjaminan, terutama jika bank yang dilikuidasi memiliki jumlah rekening yang sangat besar, seperti bank skala menengah atau besar,” jelas Suwandi.
SCV memungkinkan LPS untuk memproses klaim dengan lebih efisien, sesuai dengan standar internasional. Sistem SCV ini juga berperan penting dalam memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan, karena nasabah akan merasa lebih terlindungi jika terjadi likuidasi bank. LPS menargetkan proses pembayaran klaim penjaminan dapat diselesaikan dalam waktu 7 hari kerja, yang merupakan standar internasional untuk pembayaran klaim yang cepat dan efisien.