BeritaPerbankan – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa, merespons fenomena “makan tabungan” yang belakangan menjadi sorotan publik. Dia mengatakan bahwa fenomena ini mungkin saja terjadi di kalangan tertentu. Namun, Purbaya juga menekankan bahwa ada kemungkinan sebagian masyarakat memang tidak memiliki tabungan sejak awal.
“Memang ada kemungkinan makan tabungan, tapi bisa juga dari awal memang tidak punya uang atau saldo tabungan,” ujar Purbaya pada Senin, 30 September 2024.
Fenomena makan tabungan menggambarkan situasi di mana individu harus menggunakan uang simpanan mereka untuk menutupi kebutuhan harian. Kondisi ini terjadi ketika pengeluaran mendesak tidak lagi dapat dipenuhi dengan pendapatan rutin, sehingga mereka terpaksa memanfaatkan tabungan untuk bertahan hidup.
Purbaya menjelaskan bahwa LPS memiliki data yang memberikan gambaran berbeda terkait isu ini. Data LPS menunjukkan simpanan dengan nominal antara Rp 1 juta hingga Rp 100 juta justru mengalami pertumbuhan yang positif. Fenomena ini, menurutnya, dapat dilihat sebagai tanda bahwa perekonomian masyarakat masih menunjukkan perbaikan, meskipun perlahan.
“Terdapat sedikit perbaikan. Jadi, kita tidak perlu terlalu khawatir atau panik bahwa kondisi ekonomi masyarakat benar-benar sulit,” tambahnya.
Namun demikian, Purbaya mengakui bahwa pertumbuhan simpanan dengan saldo di bawah Rp 1 juta cukup stagnan. LPS mencatat bahwa kategori simpanan di bawah Rp 1 juta hanya mengalami pertumbuhan sebesar 0,72 persen pada bulan Agustus 2024. Angka ini merupakan yang terendah sepanjang tahun ini.
“Pada bulan Agustus, tabungan di bawah Rp 1 juta hanya tumbuh sebesar 0,72 persen, dan ini menjadi yang terendah dalam tahun 2024,” jelas Purbaya.
Lebih lanjut, Purbaya menguraikan data pertumbuhan tabungan berdasarkan kategori nominal. Simpanan dengan nilai di bawah Rp 1 juta memang menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat, yakni hanya 0,72 persen. Sementara itu, nominal simpanan Rp 1 juta hingga Rp 5 juta mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,92 persen.
Kategori simpanan lainnya juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Simpanan dengan nilai antara Rp 5 juta hingga Rp 10 juta tumbuh sebesar 6,16 persen, sementara simpanan bernilai Rp 10 juta hingga Rp 25 juta mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,28 persen. Pada kategori tabungan Rp 25 juta hingga Rp 50 juta, pertumbuhannya mencapai 5,73 persen, dan simpanan dalam rentang Rp 50 juta hingga Rp 100 juta tumbuh sebesar 5,19 persen.
Dari data tersebut, Purbaya menyimpulkan bahwa secara keseluruhan, kondisi simpanan masyarakat masih cukup stabil, khususnya untuk tabungan dengan nominal menengah. Meskipun pertumbuhan simpanan dengan saldo kecil menunjukkan perlambatan, namun segmen lainnya mencatatkan peningkatan yang cukup baik. Ini menjadi indikasi bahwa kondisi ekonomi masyarakat tidak sepenuhnya memburuk, dan masih ada harapan perbaikan dalam jangka panjang.
Secara lebih luas, data ini juga mencerminkan bagaimana perekonomian Indonesia secara umum masih bergerak di jalur yang positif, meskipun dengan tantangan yang tidak bisa diabaikan. Inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga keuangan diharapkan mampu membantu masyarakat untuk lebih siap menghadapi perubahan ekonomi, terutama dalam menjaga stabilitas keuangan pribadi mereka.
Dengan demikian, fenomena “makan tabungan” tidak dapat dianggap sebagai indikator tunggal dari kesulitan ekonomi. Data yang lebih lengkap menunjukkan bahwa meskipun ada sebagian masyarakat yang mengalami kesulitan, masih banyak yang mampu menjaga atau bahkan meningkatkan tabungannya di tengah kondisi ekonomi yang dinamis.
Fenomena makan tabungan ini sebelumnya ramai diperbincangkan dan dikeluhkan oleh industri perbankan. Sejumlah petinggi bank mengungkapkan bahwa segmen nasabah menengah ke bawah menjadi kelompok yang paling terdampak. Hal ini terlihat dari penurunan rata-rata saldo tabungan yang menunjukkan tren menurun.
Mereka menyimpulkan bahwa, setidaknya dalam enam bulan terakhir ini, banyak nasabah kini berada dalam mode bertahan hidup. Situasi ini diduga dipicu oleh melemahnya kondisi ekonomi, yang berimbas pada berkurangnya lapangan kerja dan menurunnya daya beli masyarakat.
Direktur Bank Central Asia (BCA), Santoso, optimis situasi ini akan membaik dalam waktu dekat, seiring dengan pergantian pemerintahan yang baru serta pelaksanaan Pilkada serentak 2024, yang diharapkan akan mempercepat implementasi kebijakan yang dapat memperkuat kondisi ekonomi. Ia juga menambahkan bahwa penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebesar 25 basis poin menjadi 6% akan berdampak positif bagi perekonomian Indonesia ke depannya.