BeritaPerbankan – Sepanjang tahun 2024, industri perbankan di Indonesia dikejutkan dengan tingginya angka kebangkrutan Bank Perekonomian Rakyat (BPR). Sejak Januari hingga pertengahan Desember tahun ini, sudah ada 20 BPR yang harus gulung tikar setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil tindakan tegas dengan mencabut izin operasional ke-20 bank tersebut, yang disebabkan masalah dalam pengelolaan internal mereka.
Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), kebangkrutan bank-bank ini tidak lepas dari praktik kecurangan atau fraud yang marak terjadi di kalangan manajemen BPR. Direktur Eksekutif Hukum LPS, Ary Zulfikar, menyoroti bahwa pengawasan yang tidak ketat menjadi celah bagi oknum-oknum di dalam BPR untuk memanfaatkan posisi mereka melakukan tindakan melawan hukum.
Dalam keterangannya, Ary menjelaskan bahwa terdapat tiga modus fraud yang paling sering terjadi di internal BPR yang menyebabkan runtuhnya beberapa bank tersebut. Pelakunya tidak lain adalah orang-orang dari dalam bank itu sendiri, mulai dari direksi, komisaris, hingga pegawai.
1. Kolaborasi Calon Debitur dan Direksi untuk Pengajuan Kredit Fiktif
Modus pertama melibatkan kerjasama antara calon debitur dan direksi BPR dalam pengajuan kredit. Direksi yang seharusnya memverifikasi pengajuan kredit justru menyetujui pembiayaan tanpa melakukan penilaian yang sesuai dengan standar. Akibatnya, muncul kredit fiktif yang proyeknya sebenarnya tidak pernah ada.
“Sering kali modus ini melibatkan banyak pihak di internal BPR, mulai dari direksi hingga komite investasi,” ungkap Ary.
2. Kredit Topengan
Modus kedua dikenal sebagai kredit topengan, di mana pihak manajemen BPR memanfaatkan data pribadi nasabah, seperti KTP, untuk mengajukan pinjaman tanpa sepengetahuan pemilik data tersebut. Dalam praktiknya, meskipun nasabah tidak menyadari adanya pengajuan pinjaman, beberapa pihak di dalam bank mendapatkan keuntungan finansial berupa fee.
3. Penyalahgunaan Dana Nasabah
Modus terakhir adalah penggelapan dana nasabah. Dalam modus ini, pihak manajemen bank mengambil dana yang ditempatkan nasabah di bank tanpa sepengetahuan mereka. Minimnya pengawasan operasional di BPR menjadi faktor kunci yang memungkinkan praktik ini terjadi, khususnya dengan kurangnya pemanfaatan teknologi informasi untuk pengawasan otomatis.
Ary menekankan bahwa jika sistem pengawasan yang lebih ketat dan modern diterapkan, potensi fraud seperti ini dapat diminimalisir. Penggunaan teknologi informasi yang lebih canggih dapat membantu mendeteksi kecurangan lebih dini.
Rencana Penerapan Sistem IT di BPR
Menyikapi situasi ini, LPS berencana untuk meningkatkan sistem pengawasan di BPR dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) yang lebih maju. Saat ini, LPS tengah menunggu persetujuan dari DPR RI terkait implementasi sistem TI untuk 100 BPR pada tahun 2025. Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan bahwa pihaknya sedang melakukan studi kelayakan dan berharap dapat memulai proyek percontohan pada tahun 2025, dengan anggaran yang telah disiapkan sebesar Rp160 miliar.
“Tahun ini kita lakukan feasibility study, dan pada 2025 diharapkan kita bisa mulai menjalankan pilot project di 100 BPR,” ujar Purbaya.
Namun, ia juga menyebutkan bahwa penerapan sistem ini masih tergantung pada persetujuan dari Komisi XI DPR RI terkait kewenangan LPS untuk mengembangkan sistem tersebut. Menurut Purbaya, jika proyek ini berjalan, sistem IT yang baru akan meningkatkan kemampuan BPR untuk bersaing dengan bank digital dan layanan pinjaman online yang kian berkembang pesat. Selain itu, penerapan teknologi ini akan membantu BPR dalam mengurangi risiko kegagalan operasional yang disebabkan oleh mismanajemen dan fraud.
“Dengan sistem IT yang lebih baik, manajemen BPR akan mampu mengidentifikasi masalah lebih awal, sehingga ke depannya diharapkan kita tidak lagi mendengar kasus kebangkrutan BPR akibat kecurangan atau pengelolaan yang buruk,” jelas Purbaya.
Langkah ini menjadi salah satu upaya serius pemerintah dan otoritas terkait dalam menjaga stabilitas sektor perbankan, khususnya bagi BPR yang memiliki peran penting dalam mendukung perekonomian lokal. Di tengah persaingan yang semakin ketat dengan layanan keuangan digital, BPR harus terus berinovasi dan memperkuat tata kelola agar tetap relevan dan kompetitif.