BeritaPerbankan – Pemerintah resmi menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang mulai berlaku pada Januari 2025 mendatang. Kebijakan ini dinilai akan berimbas pada pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) di sektor perbankan yang diharapkan pada tantangan besar. Pertumbuhan DPK juga masih harus menghadapi tekanan persaingan dari instrumen investasi non-bank, seperti Surat Berharga Negara (SBN).
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan bahwa kenaikan PPN ini akan semakin memperlambat laju pertumbuhan DPK perbankan. Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa sebelum adanya kenaikan PPN pun, pertumbuhan DPK sudah mengalami perlambatan.
“Situasi ini akan makin menantang dengan kebijakan PPN 12%. Perlambatan sudah terlihat sebelumnya, dan kondisi ini diprediksi akan semakin memperlambat laju pertumbuhan DPK di masa mendatang,” ujar Purbaya Yudhi.
Pada Oktober 2024, total DPK perbankan tercatat tumbuh 6,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) mencapai Rp 8.792,74 triliun. Namun, pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 6,9% yoy. Purbaya memperkirakan bahwa pada 2025, DPK perbankan akan tumbuh hanya sekitar 6%-7%, bergantung pada kondisi ekonomi.
Selain itu, LPS mengeluarkan hasil riset terbaru terkait Indeks Menabung Konsumen (IMK) dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK). Dari survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.700 responden di berbagai wilayah, ditemukan bahwa IMK mencapai angka 77,0 pada November 2024, turun tipis dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan terutama terlihat pada Indeks Waktu Menabung (IWM), yang turun 1,9 poin menjadi 81,5.
Meski begitu, terdapat sedikit peningkatan pada Indeks Intensitas Menabung (IIM) sebesar 0,6 poin menjadi 72,4, mengindikasikan bahwa meski jumlah uang yang ditabung lebih kecil dari yang direncanakan, lebih banyak orang yang tetap rutin menabung.
Lebih lanjut, LPS juga mencatat bahwa porsi simpanan kecil, khususnya di bawah Rp 100 juta, masih mendominasi jumlah rekening tetapi dengan nilai yang relatif kecil terhadap total simpanan. Simpanan di bawah Rp 100 juta hanya berkontribusi Rp 1,07 triliun atau 12,13% dari total simpanan, meskipun jumlah rekening dalam kategori ini mencapai 593,26 juta pada Oktober 2024.
Pertumbuhan DPK dalam dua tahun terakhir cenderung sulit menembus angka double digit. Menurut David Sumual, seorang ekonom dari BCA, salah satu faktor yang memengaruhi perlambatan ini adalah melemahnya harga komoditas.
“Kondisi harga komoditas, khususnya di sektor mineral, cenderung menurun, walau ada beberapa peningkatan di komoditas seperti CPO, coklat, dan kopi. Namun, secara keseluruhan, ini mempengaruhi laju pertumbuhan DPK secara signifikan,” ungkap David.
David juga menyoroti dampak kenaikan PPN menjadi 12% yang bisa semakin membebani pertumbuhan DPK. Ia mengatakan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% berpotensi menggerus daya beli masyarakat yang semakin tertekan.
“Kenaikan PPN dari 10% ke 11% sudah memberikan dampak pada ekonomi. Jadi, saat PPN dinaikkan lagi menjadi 12%, kita harus siap menghadapi dampaknya, terutama pada daya beli masyarakat yang akan makin tertekan,” jelasnya.
David menambahkan bahwa instrumen seperti SRBI (Surat Berharga Republik Indonesia) dan belanja pemerintah telah menyerap banyak likuiditas yang seharusnya bisa masuk ke sektor perbankan.
“Hampir Rp 1.000 triliun terserap oleh SRBI, ini jelas berpengaruh terhadap penghimpunan DPK,” katanya.
Bhima Yudhistira, ekonom dari Celios, juga menjelaskan bahwa penurunan pendapatan yang dapat dibelanjakan oleh masyarakat (disposable income) turut mempengaruhi perlambatan pertumbuhan DPK. Bhima memperkirakan bahwa pada tahun 2025, pertumbuhan DPK akan berada di kisaran 5%-6,5% yoy, dengan persaingan antara pemerintah dan perbankan dalam merebut likuiditas untuk pembiayaan APBN menjadi salah satu faktor penghambat.
“Saat pendapatan yang bisa dibelanjakan berkurang, prioritas masyarakat berubah, yang langsung berdampak pada simpanan di bank. Selain itu, perlambatan harga komoditas juga membuat keuntungan di sektor tersebut menyusut, yang akhirnya berimbas pada simpanan,” jelas Bhima.
Di sisi lain, Presiden Direktur Bank bjb, Yuddy Renaldi, menyatakan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% memang menjadi perhatian dalam penghimpunan DPK. Namun, ia menambahkan bahwa bank bjb terus berupaya menarik nasabah dengan profil prioritas serta mencari sumber pendanaan lain seperti penerbitan surat berharga.
“Kami terus memantau perkembangan ini dan berusaha menyeimbangkan pertumbuhan kredit dengan strategi deposito yang lebih tepat untuk menekan biaya dana,” jelas Yuddy.
Presiden Direktur Bank CIMB Niaga, Lani Darmawan, menyatakan bahwa kenaikan PPN berpotensi meningkatkan biaya yang harus ditanggung masyarakat, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap likuiditas simpanan.
“DPK tahun ini diperkirakan tumbuh sekitar 7%-8%, dan proyeksi serupa diharapkan untuk tahun depan, dengan fokus utama pada CASA operating account, sektor UKM, korporasi, merchant, manajemen kas, serta payroll,” jelasnya.
Sementara itu, Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, juga menyatakan kekhawatiran terhadap dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat dan kemungkinan menurunnya pengajuan kredit.
“Dengan kondisi ini, kami menargetkan pertumbuhan DPK pada kisaran 5%-7% di tahun depan,” ungkap Jahja.