BeritaPerbankan – Sepanjang tahun 2024, sebanyak 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) telah ditutup menyusul pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sebagian besar pencabutan izin tersebut disebabkan oleh praktik kecurangan (fraud) yang dilakukan oleh pihak internal bank.
Dalam acara LPS Morning Talks pada Jumat (20/12/2024), Direktur Eksekutif Hukum LPS, Ary Zulfikar, mengungkapkan bahwa tingginya kasus fraud di sektor BPR disebabkan oleh lemahnya pengawasan operasional bank dimana pengawasan berjenjang tidak berjalan di BPR yang bersangkutan. Celah tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan kecurangan.
Data LPS menunjukkan tiga modus fraud yang paling sering terjadi di internal BPR, yang melibatkan direksi, komisaris, atau pegawai bank. Modus pertama adalah kolaborasi antara calon debitur dan direksi untuk pengajuan kredit. Dalam modus ini, direksi menyetujui pengajuan kredit tanpa melakukan penilaian sesuai prosedur. Bahkan, ada praktik kredit fiktif yang dilakukan secara bersama-sama dengan melibatkan direksi, pegawai, hingga komite investasi di mana proyek yang diajukan sebenarnya tidak ada.
Modus kedua dikenal sebagai kredit “topengan”. Dalam kasus ini, manajemen bank menggunakan data pribadi nasabah, seperti KTP, untuk mengajukan pinjaman tanpa sepengetahuan pemilik data. “Debitur tidak tahu, tetapi ada pihak lain yang mendapat keuntungan,” ujar Ary.
Modus ketiga, yang paling sering terjadi, adalah penggelapan dana nasabah. Manajemen bank mengambil uang nasabah yang disimpan di bank tanpa sepengetahuan pemilik dana. Ary menilai, kelemahan pengawasan berbasis teknologi informasi (TI) menjadi faktor utama yang memungkinkan praktik tersebut terjadi.
LPS menekankan pentingnya penerapan teknologi informasi dalam pengawasan operasional BPR untuk mengurangi risiko kerugian akibat fraud internal. “Pemanfaatan teknologi TI sangat krusial agar tata kelola di BPR menjadi lebih baik,” tegas Ary.