BeritaPerbankan – Eropa kini memasuki babak baru dalam perseteruan dengan China. Uni Eropa telah menaikkan tarif untuk mobil listrik yang diimpor dari China. Meski belum permanen dan keputusan final akan diberikan pada bulan November, langkah ini telah memicu respons dari China. Beijing menilai Uni Eropa sebagai pasar yang penting dan berkembang untuk industri otomotifnya.
Aturan baru tersebut menetapkan tarif tambahan antara 17,4% dan 38,1% untuk mobil listrik China, di luar bea masuk sebelumnya yang sudah sebesar 10%. Dengan penambahan ini, tarif total bisa mendekati 50%. Tarif baru ini berdampak pada tiga perusahaan kendaraan listrik besar, yakni BYD (17,1%), Geely pemilik Volvo (20%), dan SAIC (38,1%).
Eropa merupakan tujuan utama ekspor kendaraan listrik China. Menurut Rhodium Group, pada tahun lalu, nilai impor mobil listrik UE dari China mencapai US$11,5 miliar, naik dari hanya US$1,6 miliar pada tahun 2020. Namun, Uni Eropa menilai ada subsidi yang diberikan China secara tidak adil, membuat mobil China lebih murah daripada mobil dari India dan Amerika Serikat, dengan harga lebih rendah 20% di pasar Eropa.
Akibatnya, sejumlah perusahaan seperti Tesla dan BMW membuka pabrik di China.Produksi mobil listrik di China pun meningkat dari 51.000 unit pada 2020 menjadi 437.000 unit pada 2023.
China, melalui media resmi pemerintah Xinhua, menyarankan Eropa untuk mempertimbangkan kembali langkah ini. Xinhua menekankan bahwa kerja sama dagang antara dua kekuatan ekonomi besar ini penting untuk perkembangan perdagangan dunia.
Para ahli memperkirakan China mungkin akan membalas dengan menyasar produk daging dan susu dari Eropa, mengingat China merupakan pasar terbesar ketiga setelah Inggris dan AS.
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Ino Adinova, menyatakan dampaknya terhadap Indonesia tidak langsung, namun peningkatan tarif tersebut akan mengurangi daya saing mobil listrik China dan menurunkan permintaan produk tersebut.
Indonesia sebagai pengekspor banyak bahan baku ke China, termasuk besi, akan terkena dampak penurunan permintaan mobil listrik China. Jika China membalas tarif Uni Eropa, perlu diperhatikan produk apa yang akan menjadi target untuk menilai seberapa besar dampaknya terhadap Indonesia, tambahnya.
Peneliti CSIS lain, Deni Friawan, menilai kebijakan ini sebagai efek dari perang dagang. Sebelumnya, AS juga telah menaikkan tarif mobil listrik China dari 25% menjadi 100%. Dampak terhadap Indonesia mungkin belum signifikan, namun Deni menyarankan kewaspadaan karena ada banyak investasi China di Indonesia, dari sektor hilir hingga peningkatan nilai tambah.