BeritaPerbankan – Sudah ada Web 1 dan Web 2. Kini, sering terdengar sejak beberapa waktu terakhir, dan disebut sebagai masa depan internet tentang munculnya Web3. Namun apa sebenarnya Web3?
Web1 yakni mulainya ide internet terbuka dan terdesentralisasi. Di versi perdana internet ini, infrastruktur dan kontennya disediakan oleh korporasi bermodal besar. Peran pengguna internet sebatas sebagai penikmat konten di situs web statis.
Web2, internet yang dikenal saat ini, ditandai dengan kemunculan media sosial. Pada era sekarang, pengguna punya peran lebih banyak sebagai pengisi konten meskipun platform tempat mereka berkreasi masih dimiliki oleh perusahaan teknologi besar yang memiliki pengaruh besar di dunia maya.
Web3 disebut para pendukungnya sebagai versi internet yang terdesentralisasi, tidak didominasi oleh pemain kelas dunia seperti Amazon, Microsoft, dan Google. Istilah itu berkembang dari dua periode sebelumnya.
Istilah Web3 sendiri dikemukakan oleh Gavin Wood yang merupakan ilmuwan kompu-ter pada tahun 2014. Dia menjelaskan soal Web3 dalam sebuah episode podcast Beyond the Valley di CNBC Internasional.
“Masalah besar dengan [kondisi saat] ini adalah, semacam hal yang sama seperti menempatkan semua telur pada satu keranjang, jika ada yang tidak beres dengan salah satu layanan, Anda tahu, tiba-tiba tidak tersedia untuk banyak orang,” kata Gavin Wood.
“Selain itu, kata kuncinya adalah kepercayaan. Kami harus percaya orang-orang di balik layanan tersebut. Kami harus mempercayai pemilik perusahaan yang menjalankan layanan tersebut. Dan kami berhasil merancang sendiri ke dalam ini, agak seperti versi distopia dari apa yang dunia bisa.”
Menurut Wood, dalam Web3, semua benar-benar terdesentralisasi. Ini bakal jadi versi paling demokratis dari internet yang tersedia sekarang. Di Web3, layanan yang digunakan tidak di-host oleh satu perusahaan penyedia layanan. Namun, bertumpu pada algoritme murni dan semua orang berkontribusi pada layanan utama.
“Tidak ada yang benar-benar memiliki profit lebih dari orang lain, tidak dalam arti yang sama, setidaknya seperti pergi ke Amazon atau eBay atau Facebook, tempat perusahaan di belakang layanan memiliki kekuatan mutlak atas apa yang mereka lakukan memberikan layanan,” katanya.
Wood mencontohkan Twitter versi Web3. Pengguna punya kontrol pada unggahannya dan bisa memverifikasi identitas lebih mudah. “Jadi lebih sulit untuk seseorang menyukai, memalsukan identitas saya, karena kami memiliki bukti berbasis kriptografi bahwa saya telah melakukan ini dan hanya saya yang mungkin melakukan ini,” ujarnya.
Namun, Web3 ini bukan menjadi akhir raksasa teknologi, mengingat perusahaan seperti Microsoft dan Twitter juga berinvestasi di dalamnya. Wood menyamakan potensinya dengan Microsoft di akhir 2000-an dan tahun mendatang.
“Tidak masalah Anda menjalankan sistem operasi Windows, atau membuat dokumen Anda di Microsoft Word. Kami menggunakan web sebagai platform dan web bisa digunakan pada sistem operasi apapun,” jelas Wood.
Teknologi blockchain memegang kunci penting dalam Web3, yakni menjadi teknologi utama di baliknya. Selain itu, Web3 juga sering dikaitkan dengan aset kripto yang jadi teknologi pendukungnya.
Para pendukungnya menyarankan cryptocurrency memainkan peran kunci di masa depan internet, era aplikasi Web3 dengan fondasi blockchain tertentu menggunakan medium token digital tertentu.
Namun menurut Wood, Web3 tidak terlalu bergantung kepada cryptocurrency. “Saya pikir akan jadi lompatan besar. Dan menjadi salah satu faktor kunci yang akan membuka pintu ke arus utama,” kata dia.
Soal aturan, seperti diketahui banyak negara mencoba mencari cara terbaik untuk mengatur cryptocurrency dan teknologi terkait. Lalu bagaimana dengan Web3 yang berjalan dengan desentralisasi yang sama seperti kripto?
Wood mengatakan sulit bagi pihak berwenang mengatur layanan Web3. Ini akan jadi kepentingan pribadi para pembuat aplikasi untuk memastikan produk mereka selaras dengan regulator. Regulator sendiri akan lebih berfokus untuk mengatur pengguna layanan daripada layanan itu sendiri, ungkapnya.