BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menyusun besaran premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) yang wajib dibayarkan oleh bank di Indonesia, yang mulai berlaku pada 2025. Pemberlakuan premi PRP ini merupakan bagian dari amanah Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
LPS menyatakan bahwa kebijakan pembayaran premi PRP bertujuan untuk menciptakan sistem keuangan yang tangguh dan mampu bertahan di tengah ancaman krisis. Premi PRP diharapkan menjadi salah satu pilar utama untuk memperkuat ketahanan industri perbankan, terutama dalam menghadapi potensi guncangan sistemik yang dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional.
Dengan diberlakukannya premi PRP, diharapkan sistem keuangan Indonesia akan menjadi lebih tangguh dalam menghadapi potensi risiko di masa depan. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Jika terjadi gangguan ekonomi yang mempengaruhi stabilitas bank, dana premi yang telah dikumpulkan dapat digunakan untuk membantu penyelesaian masalah bank tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa kebijakan premi PRP, termasuk besaran premi yang wajib dibayarkan oleh bank kepada LPS, telah melewati proses kajian dan diskusi mendalam bersama pemangku kepentingan industri perbankan sejak tahun 2016 dan siap diberlakukan pada tahun 2025 mendatang.
“Industri dan asosiasi perbankan sudah dilibatkan dalam pembahasan ini sejak lama, sehingga bank seharusnya sudah siap untuk memenuhi kewajiban pembayaran premi PRP yang akan mulai diberlakukan pada 2025,” ujar Dian.
Menurutnya, bank-bank di Indonesia seharusnya sudah mempersiapkan dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dia juga memastikan besaran premi yang ditetapkan tidak akan menambah beban operasional bank.
Dian menjelaskan bahwa besaran premi yang harus dibayarkan setiap bank akan didasarkan pada dua faktor utama, yakni tingkat risiko dan jumlah aset yang dimiliki. Semakin besar aset dan semakin tinggi tingkat risiko suatu bank, maka premi yang dikenakan juga akan semakin besar. Kebijakan ini diharapkan dapat memotivasi bank untuk menjaga stabilitas keuangan mereka dan beroperasi secara lebih prudent.
Namun, ada pengecualian bagi bank yang masuk dalam kategori tidak sehat atau memiliki tingkat risiko 5. Bank dengan status tersebut tidak akan dikenakan premi, meskipun memiliki aset besar. Hal ini dimaksudkan agar bank-bank yang sedang mengalami kesulitan tidak terbebani oleh kewajiban tambahan.
“Untuk bank yang memiliki risiko tinggi atau dalam kondisi tidak sehat, premi yang dikenakan adalah 0%, tanpa memandang besaran aset mereka,” lanjut Dian.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa dana yang terkumpul dari premi PRP akan menjadi salah satu sumber pendanaan dalam program restrukturisasi perbankan jika terjadi krisis. Dengan demikian, perbankan memiliki kemandirian dalam mengatasi krisis keuangan internal mereka.
Purbaya menambahkan dengan adanya kebijakan ini akan membuat industri perbankan lebih tangguh, meningkatkan kredibilitas dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan di Indonesia, khususnya sektor perbankan.
Bank-bank di Indonesia kini harus mulai menyiapkan strategi dan alokasi dana yang tepat untuk memenuhi kewajiban premi PRP ini. Bank dengan tata kelola risiko yang baik akan lebih siap menghadapi tantangan ini, sementara bank yang dalam kondisi tidak sehat akan diberi kelonggaran dengan pembebasan premi. Implementasi kebijakan ini akan menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah perbankan Indonesia, menuju sistem keuangan yang lebih kuat dan stabil.