BeritaPerbankan – Tren investasi saham nampaknya masih akan terus berlanjut pada tahun 2022 seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengelola keuangan dengan cara berinvestasi.
Berdasarkan publikasi KSEI selama pandemi Covid-19 jumlah investor di pasar modal naik drastis sebesar 65,74% menjadi 6.431.444 investor per September 2021.
Jumlah investor berusia di bawah 30 tahun mendominasi sebanyak 59,23% dengan jumlah investasi mencapai lebih dari Rp 39 triliun. Kelompok usia 31-40 tahun menyumbang 21,54% dari total investor dengan jumlah investasi Rp 90,80 triliun.
Dilihat dari sebaran jenis investasi, instrumen investasi reksa dana menjadi favorit para investor dengan jumlah 5,7 juta investor atau 82,18%. Sementara itu jumlah investor surat berharga negara (SBN) bertambah 24,20% menjadi 571.794 investor per September 2021.
Jumlah investor yang terus meningkat dengan fenomena banyaknya anak-anak muda yang mulai melek investasi mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagikan kiat-kiat bagi para investor milenial yang baru menjajaki dunia investasi, guna meminimalisir kerugian dengan mengetahui karakteristik jenis investasi dan mengenali risiko setiap instrumen investasi.
Komisioner Edukasi dan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sarjito mengatakan kepada investor pemula untuk memperhatikan aspek legalitas dan fundamental saham yang akan dibeli.
Sarjito mengingatkan untuk tidak tergiur membeli saham gorengan (fried stock) atau saham kolesterol yang tidak jelas reputasi perusahaan dan portofolio saham yang kurang bagus pergerakannya.
“Memang kalau milenial senangnya saham volatil di mana-mana lebih menarik, ada orang invest besar kapitalisasi besar tapi perusahaan harga saham, pergerakan enggak bagus,” paparnya
Untuk mengetahui legalitas perusahaan, calon investor harus memastikan perusahaan tersebut terdaftar di OJK dan Bappebti.
Sarjito juga menyinggung soal tawaran investasi dengan return yang tinggi dan tidak masuk akal. Ia menyarankan kepada investor untuk waspada terhadap penawaran manis semacam itu.
Menurut Sarjito apabila imbal hasil yang ditawarkan 30%-40% maka kemungkinan besar ada yang aneh dengan investasi tersebut karena tidak masuk logika dalam dunia investasi.
Seringkali investor baru terjebak dengan penawaran investasi dengan return yang tinggi dengan tempo pengembalian yang cepat karena ingin segera menikmati keuntungan.
Sarjito menyarankan kepada calon investor untuk menyaring informasi dan tidak mudah percaya dengan orang lain. Ada baiknya berkonsultasi dengan penasehat investasi yang tersertifikasi.
Fenomena yang banyak terjadi sekarang ini adalah bermunculan nya influencer yang mengiklankan (diendorse) untuk mengajak pengikutnya berinvestasi pada instrumen investasi saham tertentu dengan testimoni yang menggiurkan.
“Jadi masyarakat yang mau investasi itu bener-benar sudah lihat fundamentalnya, tidak terpengaruh saran-saran, bahkan orang orang influencer dan sebagainya ada penasihat investasi ilegal tidak punya sertifikasi investasi tapi nasehati investasi,” pungkas Sarjito.
Penting bagi investor untuk tidak mengalokasikan seluruh tabungan nya untuk berinvestasi di pasar modal karena pasti ada risiko di setiap instrumen investasi.
Diversifikasi investasi perlu juga dilakukan agar memiliki alternatif lain apabila salah satu saham yang dimiliki sedang ada pada tren penurunan sehingga investor tetap bisa memperoleh keuntungan di saham perusahaan yang lain.