BeritaPerbankan – Seiring dengan pertumbuhan pesat transaksi keuangan digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terus menekankan pentingnya penguatan sistem keamanan untuk melindungi nasabah dari ancaman yang semakin kompleks. Perbankan digital, yang kini menjadi tren utama dalam transaksi keuangan, menuntut adanya regulasi dan infrastruktur yang kuat untuk memastikan kepercayaan publik tetap terjaga.
Fajri Adrianto, seorang pengamat keuangan dan perbankan dari Universitas Andalas, menyatakan bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh OJK dan BI telah memberikan perlindungan yang signifikan bagi nasabah.
“Regulasi yang dibuat OJK bersama BI sudah sangat bagus dan memberikan proteksi yang sangat tinggi,” ujarnya, pada Rabu (21/8).
Selain OJK dan BI, Fajri juga menyoroti upaya yang dilakukan oleh bank-bank besar di Indonesia dalam memperkuat aspek keamanan data nasabah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa jika terjadi kesalahan dalam sistem yang berkaitan dengan data nasabah, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berperan penting sebagai lapisan perlindungan tambahan. Dengan adanya LPS, risiko terhadap nasabah dapat diminimalisasi, memberikan jaminan bahwa simpanan mereka aman meskipun terjadi permasalahan teknis atau kebangkrutan pada bank.
LPS, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, memiliki mandat untuk menjamin simpanan nasabah di bank-bank yang terdaftar. Saat ini, LPS menjamin simpanan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank, dengan syarat simpanan tersebut tercatat di bank yang menjadi peserta LPS, dan bunga yang diperoleh tidak melebihi tingkat bunga penjaminan yang ditetapkan LPS.
Adanya jaminan simpanan dari LPS memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada masyarakat dalam menggunakan layanan perbankan, termasuk layanan digital. Fajri menambahkan, sistem perlindungan berlapis ini, mulai dari regulasi OJK dan BI hingga jaminan dari LPS, akan mempercepat adopsi keuangan digital di Indonesia.
Kendati demikian, Fajri juga mengakui bahwa salah satu kekhawatiran masyarakat dalam beralih ke sistem keuangan digital adalah aspek keamanan. Meskipun demikian, hasil riset menunjukkan bahwa risiko terkait keamanan dalam transaksi digital tergolong kecil, terutama dengan dukungan regulasi dan sistem perlindungan yang ada.
Bank Indonesia melaporkan bahwa transaksi perbankan digital pada Juli 2024 mengalami pertumbuhan sebesar 30,50 persen secara tahunan (year on year/yoy), mencapai 1.845,27 juta transaksi. Hal ini mencerminkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan digital, yang didukung oleh infrastruktur yang aman dan andal.
Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia, dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur BI Bulan Agustus 2024 di Jakarta, Rabu (21/8), mengungkapkan bahwa kinerja transaksi ekonomi dan keuangan digital pada Juli 2024 tetap kuat, didukung oleh sistem pembayaran yang aman, lancar, dan dapat diandalkan. Ia menambahkan bahwa transaksi uang elektronik (UE) tumbuh 22,61 persen (yoy), mencapai 1.272,35 juta transaksi.
Di sisi lain, nilai transaksi BI-RTGS (Real-Time Gross Settlement) juga meningkat 15,36 persen (yoy) hingga mencapai 15.450 triliun rupiah. Volume transaksi ritel melalui BI-FAST bahkan mencatatkan pertumbuhan sebesar 65,08 persen (yoy), mencapai 301,41 juta transaksi. Sementara itu, transaksi menggunakan kartu ATM/Debit mengalami penurunan sebesar 9,57 persen (yoy) menjadi 584,95 juta transaksi, sementara transaksi kartu kredit tumbuh 15,35 persen (yoy) mencapai 39,83 juta transaksi.
Transaksi menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) terus menunjukkan peningkatan yang pesat, dengan pertumbuhan 207,55 persen (yoy), jumlah pengguna mencapai 51,43 juta, dan jumlah merchant yang terdaftar mencapai 33,21 juta. Hal ini menunjukkan bahwa QRIS semakin menjadi pilihan utama dalam transaksi harian masyarakat.
Dalam hal pengelolaan uang tunai, Bank Indonesia melaporkan bahwa jumlah uang kartal yang diedarkan (UYD) tumbuh 9,45 persen (yoy), mencapai 1.041,02 triliun rupiah. Ini mencerminkan bahwa meskipun transaksi digital tumbuh pesat, kebutuhan akan uang tunai masih tetap tinggi.
Perry Warjiyo menekankan bahwa stabilitas infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia tetap terjaga dengan baik, didukung oleh interkoneksi struktur industri yang semakin luas serta kelancaran dan keandalan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (SPBI).
“Infrastruktur sistem pembayaran kita tetap aman, lancar, dan dapat diandalkan, berkat dukungan kondisi likuiditas dan operasional yang memadai,” ujarnya.
Dengan adanya kerangka regulasi yang kuat dari OJK dan BI serta dukungan dari LPS, diharapkan sistem keuangan digital di Indonesia dapat terus berkembang secara sehat dan berkelanjutan. LPS, dengan peran strategisnya dalam menjamin simpanan nasabah, menjadi pilar penting dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan nasional.