BeritaPerbankan – Sepanjang tahun 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha sebanyak 20 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Langkah ini diambil untuk menjaga stabilitas dan memperkuat industri perbankan di segmen BPR/BPRS, sekaligus melindungi kepentingan nasabah. Pencabutan izin tersebut dilakukan setelah pemegang saham dan pengurus bank terkait tidak mampu melakukan upaya penyehatan yang diperlukan.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, kebijakan ini sesuai dengan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang mengharuskan status bank dalam penyehatan (BDP) tidak boleh berlangsung lebih dari satu tahun.
“OJK saat ini terikat dengan ketentuan UU P2SK, di mana status BDP tidak dapat melebihi batas waktu yang ditetapkan,” ujar Dian dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.
Ia menegaskan bahwa pencabutan izin usaha pada BPR/BPRS tidak dilakukan secara tiba-tiba, melainkan melalui proses pengawasan yang ketat. OJK senantiasa memantau pelaksanaan rencana tindak penyehatan yang diajukan oleh pihak bank dan pemegang saham pengendali (PSP). Upaya perbaikan seperti penambahan modal, restrukturisasi korporasi, hingga konsolidasi menjadi langkah-langkah yang diambil selama periode penyehatan bank.
“Rencana tindak yang direalisasikan oleh BPR/BPRS serta PSP sangat berpengaruh pada status bank tersebut. Apakah mereka bisa kembali ke kondisi normal atau harus masuk dalam proses resolusi,” jelas Dian.
Saat ini, mayoritas BPR/BPRS di Indonesia berada dalam status pengawasan normal, menunjukkan perkembangan positif di sektor ini. Pengawasan intensif yang dilakukan oleh OJK bertujuan untuk menciptakan industri perbankan mikro yang kuat, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi nyata pada pertumbuhan ekonomi daerah. Meski demikian, OJK tetap mewaspadai BPR/BPRS yang, meskipun berstatus pengawasan normal, memiliki potensi masalah yang dapat membahayakan kelangsungan bisnisnya.
OJK menekankan bahwa deteksi dini terhadap permasalahan di BPR/BPRS sangat penting. Hal ini dilakukan guna memperkuat sektor perbankan mikro agar tetap relevan di tengah semakin kompleksnya industri jasa keuangan di Indonesia.
Hingga 17 Desember 2024, sebanyak 20 BPR/BPRS yang dicabut izin usahanya meliputi PT BPR Arfak Indonesia, PT BPR Kencana, PT BPR Pakan Rabaa Solok Selatan, PT BPR Duta Niaga, PT BPRS Kota Juang Perseroda, PT BPR Nature Primadana Capital, PT BPR Sumber Artha Waru Agung, PT BPR Lubuk Raya Mandiri, PT BPR Bank Jepara Artha, dan PT BPR Dananta. Selain itu, terdapat juga PT BPRS Saka Dana Mulia, PT BPR Bali Artha Anugrah, PT BPR Sembilan Mutiara, PT BPR Aceh Utara, PT BPR EDCCASH, Perumda BPR Bank Purworejo, PT BPR Bank Pasar Bhakti, PT BPR Madani Karya Mulia, PT BPRS Mojo Artho, dan Koperasi BPR Wijaya Kusuma.
Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) hingga September 2024 telah menangani 15 BPR yang mengalami kebangkrutan dan dicabut izin usahanya. LPS mencatat total dana yang telah dicairkan untuk membayar simpanan nasabah dari 15 BPR tersebut mencapai Rp899,37 miliar. Dana ini mencakup 108.288 rekening nasabah, dengan 99,23 persen atau 107.457 rekening dinyatakan layak dibayar, dengan total simpanan yang layak dibayar sebesar Rp719,37 miliar.
Pencabutan izin usaha sejumlah BPR merupakan komitmen OJK dan LPS dalam menjaga stabilitas sektor perbankan mikro di Indonesia, sekaligus melindungi kepentingan nasabah dan memastikan keberlangsungan industri BPR/BPRS di masa mendatang. LPS menegaskan bahwa kondisi perbankan di Indonesia relatif kuat dan stabil.
LPS merespons cepat penutupan bank-bank tersebut dengan menyiapkan pembayaran klaim simpanan nasabah melalui program penjaminan simpanan, dengan nilai penjaminan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Dengan adanya jaminan ini, masyarakat menjadi lebih tenang menyimpan uang di bank, bahkan dalam situasi bank mengalami kebangkrutan.