BeritaPerbankan – Sepanjang bulan Januari hingga Juli 2024, tercatat sudah ada 14 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terbaru yaitu BPR Lubuk Raya Mandiri Kota Padang dan BPR Sumber Artha Waru Agung di Kabupaten Sidoarjo, yang ditutup secara berturut-turut pada tanggal 23 dan 24 Juli 2024.
Jumlah bank bangkrut sepanjang tahun 2024 berjalan telah melampaui rata-rata bank jatuh per tahun. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat rata-rata terdapat 6 hingga 7 bank per tahun yang dicabut izin usahanya. Namun hingga bulan Juli 2024, sebanyak 14 BPR/BPRS gugur dan sedang dalam proses likuidasi oleh LPS.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa biasanya 6 hingga 7 BPR bangkrut setiap tahun, terutama akibat mismanagement oleh pemilik dan pengurus bank tersebut. Purbaya menegaskan bahwa tutupnya belasan bank tahun ini tidak ada kaitannya dengan kondisi perekonomian nasional atau kondisi eksternal lainnya.
“Di anggaran kita 5 lagi, kita dianggarkan kan 12 [BPR] karena dari tahun ke tahun biasanya 7-8 per tahun. Ini ada program semacam konsolidasi, jadi kita dapat angka dari OJK sekitar 12 waktu itu, ya. Tapi mungkin juga akan bergeser bisa lebih bisa kurang. Kita tunggu perkembangan yang ada,” ujar Purbaya.
LPS memastikan akan segera melakukan proses pembayaran klaim simpanan nasabah BPR Lubuk Raya Mandiri dan BPR Sumber Artha Waru Agung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Proses rekonsiliasi dan verifikasi akan dilakukan paling lambat 90 hari kerja terhitung sejak bank dicabut izin usahanya.
Selain itu, LPS juga sedang mempersiapkan proses likudiasi terhadap aset-aset bank, yang hasilnya akan digunakan untuk menyelesaikan kewajiban bank kepada nasabah dan kreditur. LPS telah membentuk Tim Likuidiasi, yang juga akan melayani kepentingan nasabah yang masih memiliki cicilan atau kredit bank.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan bahwa peningkatan jumlah bank yang jatuh pada tahun 2024 tidak menyebabkan guncangan di industri perbankan tanah air maupun keresahan di masyarakat.
“Penutupan BPR bisa menjadi indikasi yang baik saya kira, bagaimana bekerjanya sistem di Indonesia. Artinya, justru sebetulnya BPR yang sekarang mungkin sudah hampir 20 yang kita tutup itu tidak menimbulkan sama sekali goncangan atau keresahan pada masyarakat,” ujar Dian.
Dian mengungkapkan bahwa bisnis perbankan merupakan sektor bisnis yang berpotensi mengalami masalah, tak terkecuali dengan industri BPR/BPRS. Namun dengan adanya pengawasan dari OJK, bank yang mengalami masalah serius dapat dideteksi lebih dini untuk dilakukan upaya penyehatan dengan batas waktu tertentu. Dalam perkembangannya, bank yang tidak mampu menyelesaikan masalah akan dicabut izin usahanya agar tidak berdampak sistemik pada industri perbankan di Indonesia.
“Bank adalah salah suatu bisnis dan tentu saja kemungkinan-kemungkinan seperti BPR akan menghadapi situasi yang sulit, mungkin terjadi. Dan dalam hal terjadi situasi paling buruk, kita terpaksa menutupkan, saya kira sistem dan mekanisme bekerja kita sudah cukup siap,” tegas Dian.
Selain itu, adanya jaminan dana simpanan nasabah oleh LPS melalui program penjaminan simpanan berkontribusi besar dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Pemahaman masyarakat tentang program penjaminan LPS yang semakin meningkat, membuat nasabah lebih tenang dalam menghadapi penutupan bank, karena yakin simpanannya aman terjamin.
Menurut Dian, Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) telah memperkuat industri perbankan dengan memberi kewenangan kepada LPS untuk menangani bank bermasalah, mencegah dampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Sejak UU P2SK berlaku pada tahun 2023, banyak masalah BPR telah diselesaikan. Dian menambahkan, meskipun beberapa BPR yang lemah secara struktural dan terindikasi fraud harus ditutup, langkah ini justru memperkuat industri BPR secara keseluruhan.
Di sisi lain, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengungkapkan bahwa kebangkrutan bank di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah persaingan bisnis antar bank.
David menjelaskan bahwa banyak BPR terpaksa ditutup karena menghadapi persaingan bisnis yang ketat, tingginya kredit macet, dan penurunan modal yang signifikan. Di sisi lain, OJK juga telah menetapkan regulasi tentang modal inti minimum yang wajib dipenuhi oleh setiap bank agar tetap bisa beroperasi.
“Persaingan di segmen ini sangat tinggi, dengan banyak BPR yang bermain di segmen yang hampir mirip,” ujar David.