BeritaPerbankan – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan sebanyak 20 Bank Perekonomian Rakyat (BPR) berpotensi mengalami penutupan hingga akhir tahun 2024. Hingga September 2024, jumlah BPR yang dicabut izin usahanya oleh OJK tercatat sebanyak 15 bank. Kondisi ini mencerminkan berbagai tantangan yang saat ini dihadapi oleh sektor perbankan BPR, baik dari faktor eksternal seperti tekanan ekonomi global, maupun dari masalah internal yang berakar pada kelemahan manajemen.
Dalam menghadapi situasi ini, OJK berkomitmen untuk memperkuat pengawasan terhadap BPR, terutama bagi bank yang saat ini diklasifikasikan sebagai Bank Dalam Penyehatan. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa setiap bank tersebut dapat melaksanakan rencana perbaikan secara tepat dan efektif, sehingga dapat kembali beroperasi secara sehat dan stabil. Namun, jika upaya ini tidak berhasil, langkah-langkah lebih tegas siap diambil oleh OJK.
BPR, sebagai bagian penting dari industri perbankan, memiliki peran vital dalam memberikan akses kredit kepada masyarakat, terutama di sektor mikro. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini menjadi semakin rentan terhadap dampak dari perubahan ekonomi global dan domestik. Kenaikan suku bunga, inflasi yang tinggi, serta ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi turut menambah tekanan bagi sektor ini.
Di sisi lain, banyak BPR juga menghadapi masalah internal yang serius. Beberapa bank menunjukkan tanda-tanda kegagalan operasional, mulai dari manajemen yang tidak efektif hingga tata kelola yang lemah. Masalah ini sering kali diperburuk oleh praktik operasional yang menyimpang, yang akhirnya mempengaruhi kesehatan keuangan bank.
“Kami mengakui bahwa sektor BPR dan BPRS (Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) menghadapi tantangan yang signifikan, baik dari faktor eksternal maupun internal. Oleh karena itu, OJK terus memperketat pengawasan untuk memastikan stabilitas di sektor ini,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae.
Untuk menghadapi situasi ini, OJK tidak hanya melakukan pemantauan secara intensif, tetapi juga telah menyiapkan langkah-langkah lanjutan yang komprehensif. Pengawasan yang dilakukan OJK difokuskan pada bank yang saat ini sedang dalam proses penyehatan, dengan tujuan agar mereka dapat kembali sehat.
Dalam penanganan BPR yang bermasalah, OJK juga terus menjalin koordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang bertugas menjamin dana simpanan nasabah saat bank dinyatakan bangkrut atau dicabut izin usahanya. Dengan demikian nasabah tidak perlu khawatir karena dana mereka tetap aman melalui program penjaminan simpanan LPS hingga Rp2 miliar per nasabah per bank.
Selain itu, OJK juga telah merumuskan berbagai opsi penanganan bagi bank yang tidak mampu menunjukkan perbaikan signifikan dalam waktu yang telah ditetapkan. Salah satu opsi terakhir yang tersedia adalah penetapan status Bank Dalam Resolusi. Setelah status ini ditetapkan, OJK bersama LPS akan menangani proses lebih lanjut, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha.
“Kami akan mengambil tindakan tegas jika pemilik saham dan pengurus BPR atau BPRS tidak mampu memperbaiki kondisi bank tersebut. Jika langkah-langkah perbaikan tidak membawa hasil, maka pencabutan izin usaha bisa menjadi opsi terakhir,” kata Dian.
OJK dan LPS menegaskan bahwa perlindungan nasabah tetap menjadi prioritas utama dalam setiap langkah yang diambil. LPS, sebagai lembaga yang berperan dalam menjamin simpanan nasabah, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap nasabah mendapatkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sektor perbankan, khususnya terhadap BPR yang beroperasi di daerah-daerah pedesaan dan melayani segmen masyarakat yang lebih kecil.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa dalam beberapa kasus, penyebab kegagalan BPR berasal dari internal bank itu sendiri. Pengelolaan yang buruk, praktik tata kelola yang tidak efektif, serta penyimpangan operasional sering kali menjadi faktor utama yang menyebabkan bank tersebut jatuh ke dalam krisis.
Purbaya juga menilai penutupan sejumlah bank sepanjang tahun 2024 tidak serta merta dimaknai memburuknya kondisi ekonomi nasional. Ia juga memastikan industri perbankan Indonesia masih solid. Terdapat ribuan BPR/BPRS yang masih beroperasi di seluruh wilayah Indonesia, yang dapat menjadi alternatif masyarakat menyimpan uang atau mengajukan pinjaman.
LPS menegaskan bahwa dana masyarakat di seluruh bank yang beroperasi di Indonesia dijamin dalam program penjaminan simpanan. Namun nasabah perlu memperhatikan tiga syarat utama yaitu simpanan wajib tercatat dalam sistem pembukuan bank, suku bunga simpanan yang diterima nasabah tidak boleh melebihi tingkat bunga penjaminan (TBP) dan tidak terlibat dalam tindak pidana perbankan.
Sinergi antara OJK dan LPS dalam menangani BPR yang bermasalah menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sektor perbankan di Indonesia. OJK memastikan bahwa setiap bank yang menghadapi masalah penyehatan keuangan mendapatkan pengawasan yang ketat. Sementara itu, LPS memastikan bahwa nasabah tetap terlindungi melalui program penjaminan simpanan yang mereka kelola.
“Dengan adanya pengawasan ketat dan koordinasi yang baik antara OJK dan LPS, kami berharap simpanan nasabah tetap aman dan kepercayaan publik terhadap industri perbankan bisa dipertahankan,” tambah Dian.