BeritaPerbankan – Pemerintah dan DPR memberikan tugas tambahan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin polis asuransi berdasarkan Draft Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
LPS ditunjuk sebagai pelaksana program penjaminan polis asuransi dan melaksanakan penyelesaian permasalahan perusahaan asuransi sesuai dengan kewenangannya.
Perluasan kewenangan LPS tersebut dinilai oleh pengamat asuransi Irvan Rahardjo sebagai keputusan tepat. Terlebih saat ini Indonesia belum memiliki Lembaga Penjamin Polis (LPP).
Irvan mengatakan wacana pembentukan LPP sendiri sudah bergulir sejak tahun 2014. Industri perasuransian nasional meminta negara turun tangan dalam menjamin polis nasabah asuransi agar hak masyarakat selaku pemegang polis terlindungi dan dana mereka dijamin jika perusahaan asuransi bangkrut.
Irvan menambahkan sejumlah negara sudah lebih dulu menjalankan program penjaminan polis sehingga tidak ada salahnya Indonesia juga mengikuti langkah serupa agar masyarakat lebih tenang membeli produk asuransi dan citra industri asuransi dapat kembali terangkat setelah kasus gagal bayar asuransi yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
“Sudah tepat. Lembaga Penjamin Polis (LPP) di luar negeri itu adalah lembaga pemerintah, tapi memang iurannya dibiayai oleh industri asuransi. Jadi sudah tepat, best practice-nya demikian LPP dikelola lembaga pemerintah,” ujarnya.
Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diamanatkan kepada pemerintah untuk membentuk LPP paling lambat pada tahun 2017. Namun kenyataannya hingga saat ini pemerintah belum juga membentuk LPP.
Hingga akhirnya pemerintah dan DPR sepakat menunjuk LPS untuk melaksanakan penjaminan polis asuransi melalui RUU PPSK.
Irvan menilai LPS merupakan lembaga yang sudah memiliki pengalaman dalam penjaminan simpanan sehingga dapat diandalkan menangani penjaminan polis asuransi. Terlebih biaya pendirian LPP juga tidak sedikit yaitu sekitar Rp 8 triliun.
Pendirian LPP juga masih terganjal dengan tidak adanya tenaga asuransi yang memiliki pengalaman dalam mengelola LPP sehingga pemerintah saat ini tidak perlu membentuk lembaga penjamin polis, cukup berikan kewenangan kepada LPS untuk menjamin polis masyarakat.
Hal serupa juga disampaikan pengamat asuransi Kapler Marpaung yang menilai lazim jika RUU PPSK memberikan kewenangan kepada LPS menjamin polis asuransi di saat Indonesia belum memiliki LPP.
“Jadi menurut saya pemerintah tidak perlu membentuk lembaga penjaminan polis yang baru, tapi tugas LPS saja ditambah. Biaya awal nya lebih efisien dan prosesnya lebih efektif karena pastinya LPS sudah lebih mudah untuk menyusun administrasi yang berkaitan dengan operasional penjaminan polis,” kata Kapler.
Dalam RUU PPSK disebutkan bahwa LPS akan mengemban tiga tugas baru yaitu menjamin polis asuransi, melaksanakan resolusi bank dan melaksanakan penyelesaian permasalahan perusahaan asuransi yang dicabut izin usahnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sebelumnya LPS memiliki dua tugas yaitu menjamin simpanan nasabah perbankan dan ikut serta menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya di sektor keuangan perbankan.
LPS menjamin dana nasabah perbankan hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank dengan syarat 3T yaitu simpanan tercatat di sistem pembukuan bank, tidak menerima bunga simpanan di atas tingkat bunga penjaminan (TBP) dan tidak menyebabkan bank gagal seperti kasus kredit macet.