BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas perbankan di Indonesia, terutama dalam menangani bank yang mengalami kegagalan. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS memiliki kewenangan untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan terkait penyelesaian bank gagal, baik yang berdampak sistemik maupun tidak berdampak sistemik.
Pasca disahkannya UU P2SK pada tahun 2023, LPS memiliki empat opsi dalam mekanisme penanganan bank gagal, mulai dari Penyertaan Modal Sementara, Likuidasi, Bridge Bank dan Purchase and Assumption.
Penyertaan Modal Sementara
Dalam menghadapi bank gagal, LPS dapat menyuntikkan modal sementara sebagai salah satu metode penyelamatan. Hal ini memungkinkan LPS untuk mengambil alih kepemilikan dan pengelolaan bank yang mengalami kesulitan. Melalui penyertaan modal ini, LPS menjadi pemegang kendali penuh dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), serta berperan dalam keputusan strategis bagi kelangsungan bank tersebut.
Pada bank yang bersifat sistemik, LPS memiliki wewenang untuk melibatkan pemegang saham lama dalam penyetoran modal tambahan, melalui skema Open Bank Assistance (OBA). Seluruh biaya yang dikeluarkan oleh LPS untuk penyelamatan ini nantinya akan dihitung sebagai modal yang disetor oleh LPS. Bank yang diselamatkan melalui penyertaan modal sementara ini akan didivestasi oleh LPS dalam jangka waktu maksimal lima tahun untuk bank non-sistemik dan enam tahun untuk bank sistemik.
Likuidasi
Apabila penyelamatan tidak memungkinkan, LPS memiliki kewenangan untuk melikuidasi bank yang telah dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Proses likuidasi ini diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang LPS, di mana LPS mengambil alih hak pemegang saham dan memulai proses pembubaran bank tersebut. LPS juga membentuk tim likuidasi yang bertanggung jawab atas penyelesaian aset dan kewajiban bank, termasuk menjual aset bank untuk memaksimalkan pemulihan dana penjaminan.
Bridge Bank
Bridge Bank adalah salah satu opsi yang digunakan LPS untuk menangani bank yang mengalami masalah solvabilitas. Berdasarkan Undang-Undang PPKSK, LPS memiliki wewenang untuk mendirikan bank perantara yang akan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban dari bank asal yang gagal. Bank perantara ini beroperasi layaknya bank normal, dengan tujuan menjaga keberlanjutan layanan perbankan bagi nasabah.
Purchase and Assumption (P&A)
Metode P&A juga diatur dalam UU PPKSK sebagai langkah resolusi bagi bank gagal. Dalam skema ini, LPS memiliki wewenang untuk mengalihkan sebagian atau seluruh aset serta kewajiban dari bank asal kepada bank yang menerima pengalihan. Aset yang dialihkan harus memenuhi kriteria tertentu, yaitu berupa “Good Asset,” baik untuk bank sistemik maupun non-sistemik. Simpanan yang dapat dialihkan untuk bank sistemik mencakup semua jenis simpanan, termasuk simpanan antarbank di Pasar Uang Antar Bank (PUAB).
Proses pengalihan ini memberikan kesempatan bagi bank penerima untuk memperbaiki kesehatan keuangannya dengan memanfaatkan aset yang dialihkan, sementara kewajiban yang tidak memenuhi kriteria akan diselesaikan melalui mekanisme likuidasi. Dalam hal ini, bank asal harus terlebih dahulu dicabut izin usahanya sebelum aset-asetnya dialihkan.