BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara terkait persaingan ketat bank-bank digital dalam menawarkan suku bunga deposito, bahkan mencapai 9% pada tahun 2024. Kedua lembaga ini sepakat mengatakan bahwa fenomena perang suku bunga deposito bank digital merupakan strategi bank untuk menarik dana nasabah.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan bahwa penawaran suku bunga tinggi merupakan strategi umum yang digunakan oleh bank untuk menarik dana dari masyarakat. Strategi ini didasarkan pada manajemen likuiditas bank, dengan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti kondisi ekonomi global dan nasional, tingkat persaingan, serta suku bunga acuan.
“Tingkat suku bunga simpanan yang ditawarkan bank digital diawasi dengan ketat dan disesuaikan secara berkala. Ini adalah bagian dari strategi yang diambil bank berdasarkan kebutuhan bisnis dan profil nasabah yang mereka layani,” ujar Dian.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengatakan bahwa penawaran bunga deposito yang tinggi oleh sejumlah bank digital, bahkan telah menyentuh level 9% per tahun, berada jauh di atas tingkat bunga penjaminan (TBP) yang ditetapkan oleh LPS yaitu 4,25% untuk simpanan rupiah di bank umum.
Menurut Purbaya, alasan utama bank digital memberikan bunga lebih tinggi adalah untuk bersaing dalam menarik dana nasabah. Selain itu, bunga tinggi juga digunakan sebagai alat untuk menghimpun dana yang akan mendukung ekspansi kredit yang lebih luas.
“Meski suku bunga yang ditawarkan lebih tinggi dari tingkat penjaminan LPS, kami tidak melarang. Namun, kami meminta bank untuk transparan kepada nasabah, agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI beberapa waktu lalu.
Purbaya menegaskan bahwa simpanan perbankan dengan suku bunga simpanan di atas suku bunga penjaminan tidak dijamin oleh LPS dalam program penjaminan simpanan. Konsekuensinya, jika bank mengalami kebangkrutan atau dicabut izin usahanya oleh OJK, maka dana simpanan nasabah tidak akan diganti melalui skema penjaminan simpanan.
Untuk mendapatkan jaminan simpanan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank ini, simpanan nasabah wajib memenuhi tiga syarat utama yaitu simpanan tercatat dalam sistem pembukuan bank, tidak mendapatkan bunga melebihi tingkat bunga penjaminan dan tidak terlibat tindakan yang merugikan bank.
LPS mencatat sejumlah bank digital telah menawarkan suku bunga yang jauh lebih tinggi dibandingkan bank umum. Misalnya, PT Bank Amar Indonesia Tbk. (AMAR) menawarkan bunga deposito mencapai 9% per tahun, sedangkan PT Krom Bank Indonesia Tbk. (BBSI) memberikan bunga hingga 8,75%. Selain itu, PT Bank Neo Commerce Tbk. (BNC) menawarkan bunga hingga 8%, dan PT Bank Seabank Indonesia memberikan suku bunga deposito sebesar 6%.
Purbaya menambahkan, LPS terus melakukan pengawasan terhadap bank yang menawarkan suku bunga tinggi, terutama dalam hal transparansi. Bank wajib menyampaikan informasi terkait program penjaminan simpanan LPS, termasuk tingkat bunga yang dijamin. LPS juga melakukan survei untuk memastikan bahwa bank-bank mematuhi aturan transparansi tersebut. Jika ada pelanggaran, OJK akan diberikan wewenang untuk menegur bank yang tidak patuh.
“Kami bekerja sama dengan OJK dalam hal pengawasan. Jika ada bank yang tidak memenuhi ketentuan terkait transparansi program penjaminan LPS, OJK akan memberikan sanksi,” tambah Purbaya.
Menurut Junedy Liu, Wakil Direktur Utama SeaBank Indonesia, biaya operasional yang rendah memungkinkan bank digital untuk menawarkan suku bunga yang kompetitif, terutama bagi bank digital yang baru beroperasi.
“Kami menyadari bahwa penawaran bunga tinggi ini adalah bagian dari strategi awal untuk menarik nasabah. Namun, bank digital perlu menyeimbangkan antara penghimpunan dana dan kemampuan untuk menyalurkan pembiayaan,” jelas Junedy.
Sementara itu, Anton Hermawan, Presiden Direktur Krom Bank Indonesia, mengungkapkan bahwa tren penawaran suku bunga tinggi oleh bank digital kemungkinan akan terus berlanjut hingga mereka berhasil membangun basis nasabah yang stabil.
“Selama belum mencapai jumlah nasabah yang cukup besar, bank digital akan mempertahankan strategi bunga tinggi ini,” ucap Anton.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Menurutnya, tren bunga tinggi di bank digital akan bertahan setidaknya selama tiga tahun ke depan, terutama karena persaingan dalam menarik dana nasabah semakin ketat, di tengah meningkatnya suku bunga surat utang pemerintah.
“Bank harus bersaing dengan surat utang pemerintah yang menawarkan bunga tinggi, sehingga tren bunga deposito tinggi di bank digital kemungkinan akan terus berlangsung,” tuturnya.
Meski penawaran suku bunga tinggi menjadi daya tarik tersendiri bagi nasabah, bank digital juga harus menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara penghimpunan dana dan penyaluran kredit. Strategi yang berfokus pada suku bunga tinggi memang efektif untuk menarik perhatian nasabah, tetapi dalam jangka panjang, bank perlu memastikan bahwa pertumbuhan dana yang masuk dapat diimbangi dengan pengelolaan aset yang baik.