Berita Perbankan – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti peredaran uang ke sektor riil mengalami kekeringan. Presiden memberikan imbauan kepada perbankan untuk lebih bijak dalam menempatkan uangnya, menghindari terlalu banyak berinvestasi pada instrumen dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI).
Menanggapi keluhan Presiden Jokowi tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) turut ambil bagian dalam menangani masalah ini. Ketua Dewan Komisioner (DK) LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa pihaknya sedang melakukan investigasi untuk mengetahui kemana aliran dana masyarakat yang mungkin menjadi penyebab penurunan uang yang beredar di sektor riil.
“Kalau lihat dari data-data yang bisa kita monitorkan, alat likuid dan lain-lain masih bagus. Ada sinyal seperti itu bahwa ada semacam kekeringan kurangnya likuiditas perbankan itu agak mengejutkan kami. Kami sedang meneliti lebih dalam ya, mudah-mudahan kita tahu apa penyebabnya,” kata Purbaya.
Purbaya menjelaskan beberapa kemungkinan terkait kekeringan uang, termasuk kemungkinan bahwa uang hanya terakumulasi di bank besar atau pemerintah, terutama Bank Indonesia. LPS sedang melakukan penelitian mendalam untuk memahami penyebab masalah ini.
“Ini klasik dalam dunia perbankan, di saat ekonomi melambat, uang seakan-akan menghilang dari sistem perekonomian. Ini dikenal sebagai ‘the cash of missing money’ dalam bahasa ekonomi. Kami sedang menyelidiki lebih lanjut untuk memahami penyebabnya,” ungkap Purbaya di LPS Awards pekan lalu.
Di sisi lain, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa per September 2023, surat berharga yang dimiliki bank mencapai Rp 1.889,7 triliun, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 3,59%. Namun, jika dilihat lebih rinci, pertumbuhan surat berharga bank swasta nasional hampir sejajar dengan pertumbuhan kredit yang disalurkan kepada pihak ketiga.
Sementara bank asing cenderung menaruh dana mereka pada surat berharga, yang tercermin dari pertumbuhan surat berharga sebesar 35,79% tahunan, sementara kredit merosot 4,71% tahunan. Bank BUMN, di sisi lain, menunjukkan pertumbuhan kredit sebesar 10,98% tahunan, sementara surat berharga mengalami kontraksi sebesar 2,38% tahunan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa rasio kredit dan rasio surat berharga terhadap total aset masing-masing mencapai 62,54% dan 17,43% per Oktober 2023.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menjelaskan bahwa angka-angka tersebut menunjukkan bahwa kontribusi penyaluran kredit, yang sebelumnya telah menjadi kontributor utama pada aset perbankan, semakin meningkat.
Sebagai perbandingan, pada Desember 2021, rasio kredit terhadap total aset baru mencapai 57,04%, sementara rasio surat berharga (SSB) terhadap total aset pada saat itu adalah 18,11%, menunjukkan adanya penurunan. Meski begitu, Dian tetap menekankan pentingnya kehati-hatian bagi bank dalam menempatkan asetnya.
“Perbankan tetap perlu untuk melakukan penempatan asetnya pada SSB secara berhati-hati dan terencana baik, terutama untuk mengelola likuiditasnya, di samping juga dapat memberikan pendapatan bagi bank,” ujarnya.
Menurut Dian, bank memiliki strategi yang disesuaikan dengan tingkat risiko yang dapat diterima (risk appetite) dan rencana bisnis yang telah ditetapkan. Hal ini mencakup penempatan portofolio dan pengelolaan likuiditas, yang selalu mempertimbangkan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Tetapi, dalam pelaksanaannya, prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, dan tata kelola yang baik tetap menjadi perhatian utama.
Dian menyatakan bahwa saat ini pihaknya sedang melakukan penilaian terhadap semua rencana bisnis bank (RBB) untuk tahun 2024.