BeritaPerbankan – Produk nikel RI dikucilkan oleh AS lantaran diketahui nikel asal Indonesia tidak akan dimasukkan ke dalam paket kebijakan subsidi hijau melalui kredit pajak Inflation Reduction Rate (IRA). Pasalnya, segala hal yang berkaitan dengan nikel Indonesia berhubungan erat dengan China.
Luhut menyampaikan, bahwa ekspor nikel ke negara Eropa termasuk AS hanya 1%, sementara 99%-nya di ekspor ke China. “Kalau anda tidak setuju, saya bilang ke White House, its okay, kita buka 99% ke China, tapi Mereka bilang jangan tapi mereka punya Inflation Reduction Rate,” terang Luhut.
Akibat adanya kebijakan IRA dari AS itu, kata Luhut, membuat Indonesia tidak bisa melakukan ekspor raw material dikarenakan sebagian produksi nikel di Indonesia menggunakan teknologi dari China.
“Saya baru Kembali dari Tiongkok, 6-7 tahun di depan dari AS dan Mereka berikan Teknologi kepada kita sekarang dan sedang proses di dalam negeri, tidak mudah mengatur ini semua,” ungkap tandas Luhut.
Selain persoalan nikel, Luhut menyatakan dengan tegas bahwa negara-negara berkembang harus bersatu. Sehingga tidak bisa didikte oleh negara-negara maju.
“Negara-negara berkembang harus satu, tak boleh negara berkembang tuh didikte. Negara berkembang itu harus menikmati nilai tambah dari critical nilai mineralnya, kita harus sepakat, regardless beda politik kita, tapi untuk satu ini saya titip,” ungkap Luhut.
Untuk Indonesia sendiri, Luhut menyebutkan bahwa harus kompak membawa NKRI menjadi high income country, sehingga pada tahun 2050 atau 2045 Indonesia bisa menjadi negara dengan GDP menembus US$ 10 ribu. “Terlepas dari perbedaan, jangan lari dari sini, jangan suka atau tidak suka, kiri atau kanan yang merugikan negara,” terang Luhut.