BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut, rata-rata ada 6 BPR yang tutup setiap tahunnya. Kepala Kantor Regional 1 OJK Provinsi DKI Jakarta, Banten Robert Akyuwen menjelaskan, adanya BPR yang tutup belakangan menjadi sebuah fenomena yang intens terjadi. Namun demikian sebenarnya, terdapat keinginan BPR maupun BPRS tersebut untuk melakukan konsolidasi.
Robert menerangkan, saat ini memang tren industri BPR dan BPRS sedang mengarah ke konsolidasi dan penggabungan. Hal tersebut juga akan memudahkan regulator dari sisi pengawasan. Ia mencontohkan, regulator di Jakarta saat ini menangani 8 sampai 10 BPR atau BPRS per orang. Jumlah tersebut terbilang besar mengingat banyaknya hal yang perlu dilakukan dalam sistem pengawasan.
Dengan adanya UU P2SK, BPR dan BPRS yang bermasalah akan langsung mendapatkan status sebagai bank dalam pengawasan. Setelah itu, bank dapat langsung diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk proses pencabutan izin usaha atau resolusi untuk perbaikan kinerja. Di sisi lain, Robert mengimbau, BPR juga memikirkan jalan untuk dapat mendigitalisasi layanannya.
Masalahnya, pendekatan terhadap BPR dan BPRS selama ini dilakukan dengan cara konvensional dan klasik. Belum lagi, pemilik BPR dan BPRS saat ini rata-rata sudah berumur. “Biasanya sudah tua, jadi tidak mau menggabungkan BPR, karena punya anak 3 jadi mau dikasih satu-satu. Jadi, apapun kondisinya kecil dan tidak bisa bersaing, dia akan mempertahankan. Kami kesulitannya di situ dalam beberapa kasus,” urai dia. Untuk itu, Robert terus mendorong BPR dan BPRS untuk merger. Caranya dengan memberikan ilustrasi bagaimana entitas dengan modal yang kecil akan lebih sulit berkembang. Sebaliknya, entitas yang sudah merger akan berpotensi mendatangkan deviden yang lebih besar meskipun persentase saham akan terdelusi.