BeritaPerbankan – Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menilai bahwa batasan omzet usaha di Indonesia yang dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN) terlalu tinggi.
Pandangan ini dituangkan dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia edisi November 2024. Saat ini, batas omzet usaha bebas PPN di Indonesia ditetapkan sebesar Rp 4,8 miliar atau setara dengan US$ 300.000. “Usaha dengan omzet kurang dari Rp 4,8 miliar (US$ 300.000) masih dibebaskan dari PPN. Ambang batas ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan negara anggota OECD,” demikian dikutip dari survei tersebut, Kamis (28/11/2024).
OECD mencatat bahwa negara-negara anggotanya memiliki batasan omzet bebas PPN yang jauh lebih rendah. Batas tertinggi di antara mereka hanya sedikit di atas US$ 80.000 per tahun, seperti yang diterapkan di Prancis, Irlandia, Italia, Jepang, Lithuania, Polandia, Slovakia, Slovenia, Swiss, dan Inggris. Sementara itu, negara dengan ambang batas US$ 40.000–US$ 80.000 mencakup Australia, Austria, Republik Ceko, Estonia, Hungaria, Korea, Latvia, Luksemburg, dan Selandia Baru.
Negara-negara dengan batas omzet bebas PPN di bawah US$ 40.000 antara lain Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Jerman, Yunani, Islandia, Israel, Belanda, Norwegia, Portugal, dan Swedia. Bahkan, Denmark, Norwegia, dan Swedia menetapkan ambang batas sangat rendah, yaitu di bawah US$ 10.000.
Jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand dan Filipina, batasan omzet bebas PPN di Indonesia juga jauh lebih tinggi. Thailand dan Filipina hanya menetapkan ambang batas sebesar US$ 50.000. “Batas di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand dan Filipina, yang hanya sekitar US$ 50.000,” tulis OECD dalam surveinya.
OECD menilai bahwa ambang batas yang terlalu tinggi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya penerimaan pajak di Indonesia. Mereka merekomendasikan agar batas omzet bebas PPN tersebut ditinjau kembali. “Penurunan ambang batas PPN, serta pengurangan jumlah sektor yang tidak dikenakan PPN, dapat meningkatkan penerimaan PPN baik dari sektor-sektor baru maupun yang sudah dikenakan,” tulis OECD.
OECD juga menyarankan penurunan ambang batas registrasi PPN dan penggantian pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dengan PPN. Langkah ini diperkirakan dapat menambah penerimaan pajak sebesar 0,8% dari produk domestik bruto (PDB).