BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memperkirakan dampak normalisasi kebijakan moneter (tapering off) Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) terhadap perekonomian nasional akan relatif mild.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Group Riset LPS Herman Saheruddin. Tapering off pada tahun 2022 dinilai tidak akan banyak mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keuangan nasional seperti pada kebijakan tapering tahun 2013 silam.
Herman mengatakan saat itu kebijakan moneter The Fed memang cukup memberikan pukulan keras terhadap perekonomian nasional karena kondisi cadangan devisa yang terbatas dan kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) relatif tinggi.
“Namun pada Desember 2021, posisi cadangan devisa sebesar USD 144,9 miliar atau setara dengan pembiayaan 8,0 bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah,” ujarnya.
Jumlah cadangan devisa yang tinggi mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah saat The Fed menaikan suku bunga acuan, yang diprediksi akan diterapkan lebih cepat dari perkiraan karena laju inflasi yang terus mengalami tren kenaikan.
Sementara itu rasio kepemilikan asing terhadap SBN berada di level yang relatif rendah yaitu 19,0 persen. Fundamental yang kuat dan stabil juga terjadi pada industri perbankan nasional.
Dengan stabilitas ekonomi dan keuangan yang stabil dan kuat, Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa meminta masyarakat tidak perlu panik dengan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed karena Indonesia bukan negara jajahan AS.
Selanjutnya LPS terus memantau kondisi ekonomi dan keuangan global sehingga dapat dipastikan stabilitas keuangan dalam negeri dalam keadaan stabil.
“Kalau The Fed naik, saya tekankan kita bukan jajahan Amerika Serikat (AS). Jadi, kebijakan kita tergantung kondisi finansial di dalam negeri,” jelas Purbaya dalam konferensi pers, Rabu (25/5/2022).
Dari sisi likuiditas perbankan LPS mencatat likuiditas bank terus mengalami tren kenaikan dengan tumbuhnya Dana Pihak Ketiga (DPK).
“Kinerja pertumbuhan kredit bank umum melanjutkan tren pemulihan. Pada April 2022 kredit perbankan tumbuh sebesar 9,3% yoy. Sedangkan pertumbuhan DPK pun tetap berada di level yang lebih tinggi sebesar 10,1%,” ungkap Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa pada Rabu (25/5).
“Sehingga diperkirakan akan mampu mengantisipasi normalisasi kebijakan The FED, dengan ditopang oleh permodalan yang memadai serta likuiditas yang ample seiring dengan terus tumbuhnya Dana Pihak Ketiga,” jelasnya.
LPS memproyeksikan pemulihan ekonomi nasional dan global akan terus berlanjut pada tahun 2022. Hal tersebut ditopang oleh sinergi kebijakan pemerintah bersama Lembaga anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, BI, OJK dan LPS.
“Dengan berbagai sinergi langkah kebijakan extraordinary oleh Pemerintah bersama Lembaga-Lembaga anggota KSSK (Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS), dampak tapering off diperkirakan akan relatif ringan. Selain itu, strategi komunikasi kebijakan The Fed telah dilakukan dengan lebih transparan dan memberikan sinyal dikotomi antara tapering dengan peningkatan suku bunga acuan sehingga membantu para investor global untuk mengantisipasi risiko tapering ini dengan lebih baik,” tutupnya.
Terbaru Bank Indonesia telah menetapkan besaran suku bunga acuan BI yang tidak berubah dari periode sebelumnya yaitu 3,5 persen.
Setelah itu LPS juga mempertahankan tingkat bunga penjaminan LPS di level 3,50 persen untuk simpanan rupiah di bank umum, 0,25 persen valuta asing dan 6,00 persen simpanan di BPR/BPRS.
LPS mempertimbangkan keberlanjutan program pemulihan ekonomi nasional tahun 2022 dengan memperlebar likuiditas bank agar fungsi intermediasi bank semakin membaik.
LPS berharap kebijakan tersebut mampu mendorong pertumbuhan penyaluran kredit perbankan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Purbaya optimis tahun 2022 dan 2023 perekonomian nasional akan kembali normal dengan dukungan kebijakan yang suportif dan akomodatif dari seluruh lembaga terkait dan masyarakat.