BeritaPerbankan – Masyarakat Heboh dengan Rupiah kertas tahun emisi 2022 yang telah resmi diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) dengan tujuh pecahan, yakni pecahan Rp 100.000, Rp 50.000, Rp 20.000, Rp 10.000, Rp 5.000, Rp 2.000, dan Rp 1.000. Mengapa? saat uang baru itu diterawang, baik itu di bagian depan dan belakang, maka terdapat gambar saling isi tokoh pahlawan beserta satuan nominal rupiah tanpa ada tiga nol.
Apakah ini pertanda bagi Bank Indonesia untuk melakukan redenominasi?
“Tidak sebenarnya, hanya menggambarkan Rp 100.000 menjadi 100, karena kan ruangnya terlalu kecil kalau ditampilkan semua. Rp 50.000 menjadi Rp 50 itu hanya menunjukan ini saja (ruang terlalu kecil),” jelas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Marlison Hakim pada Senin (22/8/2022).
Pada dasarnya redenominasi rupiah merupakan suatu kebijakan yang positif dengan mengurangkan nolnya, tanpa mengubah nilai tukarnya, untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih mudah dan nyaman dalam melakukan transaksi. Sehingga tidak perlu banyak angka nol di belakang angka nominal.
Contoh dari redenominasi rupiah yakni misalnya nilai uang Rp 100.000 akan tetap sama dengan Rp 100 jika sudah diredenominasi. Contoh kasus, seseorang membeli barang seharga Rp 100.000, sesudah redenominasi, orang tersebut masih bisa membeli barang tersebut dengan pecahan uang Rp 100 karena nilainya sama.
Seperti diketahui, di tengah penanganan pandemi Covid-19 pada 2020 silam, Kementerian Keuangan mengusulkan sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (redenominasi) masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024. Usulan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah meyakini urgensi RUU redenominasi ini antara lain untuk efisiensi perekonomian, menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi, dan pelaporan APBN. Marlison mengungkapkan hingga saat ini, Bank Indonesia selaku otoritas moneter mendukung penuh kebijakan pemerintah tersebut. “Kalau di Indonesia sih kita mendukung kebijakan dari pemerintah,” jelasnya.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah mengatakan redenominasi secara teori sebaiknya dilakukan ketika kondisi perekonomian dan inflasi stabil. “Merujuk pengalaman negara-negara yang sukses dan atau gagal melaksanakan rendemoninasi lesson learned-nya begitu,” papar Piter.
Sekarang ini, menurut Piter, dunia dan Indonesia berada dalam kondisi yang dipenuhi ketidakpastian. Selain itu, tekanan inflasi sangat besar. BI dan pemerintah harus fokus menjaga stabilitas perekonomian dan keuangan. “Oleh karena itu, redenominasi tidak sebaiknya dilakukan saat ini,” kata Piter.
Piter menambahkan redenominasi perlu persiapan panjang. Menurutnya, persiapan ini menjadi langkah yang paling penting, terutama dalam hal kesepakatan politik
“Harus ada Undang-Undang yang mendasari dan menjadi jaminan kebijakan ini didukung bersama-sama dan konsisten,” tegasnya. Namun demikian, dia melihat undang-undang redenominasi bisa disepakati sekarang, meski kondisi belum ideal untuk eksekusi kebijakannya.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menuturkan redenominasi belum tepat jika dilakukan dalam 2-3 tahun kedepan.
Beberapa pertimbangan sebelum lakukan redenominasi yakni stabilitas inflasi harus terjaga.
“Pertimbangan utama adalah kekhawatiran terjadinya hiperinflasi karena perubahan nominal uang mengakibatkan para pedagang untuk menaikkan pembulatan nilai ke atas,” ungkap Bhima, Selasa (23/8/2022).
Misalnya, harga barang sebelum pemangkasan nominal uang Rp9.200, kemudian tidak mungkin menjadi Rp9,5 setelah redenominasi. “Yang ada sebagian besar harga dijadikan Rp10. Ada pembulatan nominal baru ke atas,” sambungnya.
Akibatnya, harga barang akan naik signifikan. Kondisi ini dikhawatirkan akan sulit dikontrol oleh pemerintah dan BI. “Akibatnya apa? hiperinflasi bahkan bisa mengakibatkan krisis kalau tidak hati-hati,” katanya.
Selain itu, Bhima menuturkan pemerintah dan BI harus melihat pelajaran kegagalan redenominasi dari Brazil, Rusia dan Argentina karena kurangnya persiapan teknis, sosialisasi, kepercayaan terhadap pemerintah rendah, hingga momentum saat ekonomi alami tekanan eksternal. “Dengan jumlah penduduk dan unit usaha yang cukup besar di Indonesia setidaknya butuh waktu 10 tahun persiapan sejak regulasi redenominasi dibuat,” ungkapnya.