BeritaPerbankan – Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan kredit macet yang melibatkan bank plat merah yaitu PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jepara Artha (BJA). Para tersangka, yaitu JH, IN, AN, AS, dan MIA, kini menghadapi proses penyidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi yang telah dimulai sejak 24 September 2024. Kejadian ini merupakan puncak dari rangkaian permasalahan yang menimpa BJA, termasuk krisis kepercayaan nasabah yang memuncak pada akhir 2023.
Pada Desember 2023, BPR Jepara Artha mengalami gelombang rush atau penarikan masif tabungan oleh nasabahnya. Kejadian ini tidak terlepas dari status bank yang telah ditempatkan dalam pengawasan dengan kategori “Tidak Sehat” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penetapan status ini disebabkan oleh kondisi tingkat kesehatan bank (TKS) yang memburuk, memicu kekhawatiran di kalangan nasabah dan deposan. Bank yang sebelumnya dipercaya sebagai lembaga keuangan andal di wilayah tersebut, tiba-tiba kehilangan legitimasi di mata publik.
Seorang nasabah loyal, Sofia, menggambarkan situasi tersebut sebagai momen yang penuh ketidakpastian. Ia menambahkan tanda-tanda mmeburuknya keuangan BJA terlihat dari pencairan tabungan yang terlambat. Sejumlah nasabah melaporkan bahwa mereka harus menunggu pencairan dalam bentuk angsuran, bahkan untuk nominal sebesar Rp 10 juta.
“Saya disuruh suami untuk ambil saja, jaga-jaga. Menurut saya yang penting nasabah dilayani. Tidak di-pingpong,” ujarnya.
Situasi semakin genting ketika deposan besar, yang menyimpan lebih dari Rp 2 miliar, mulai khawatir uang mereka tidak dapat kembali. Pada Januari 2024, bank akhirnya mengambil langkah drastis dengan menutup sementara akses penarikan tabungan. Tindakan ini semakin memperburuk reputasi BJA di mata publik, menambah ketidakpastian bagi nasabah yang berusaha menarik dana mereka.
Direksi BJA, melalui berbagai pernyataan resmi, mengakui bahwa kelalaian dalam pengucuran kredit menjadi salah satu penyebab utama krisis ini. Pengelolaan kredit yang buruk dan lemahnya pengawasan internal membuka celah bagi tindak pidana korupsi, yang pada akhirnya menggerogoti kinerja keuangan bank. Hal ini memperburuk keadaan dan menyebabkan kerugian negara yang diduga mencapai ratusan miliar rupiah.
Pada Mei 2024, OJK mengambil keputusan tegas dengan mencabut izin usaha BJA. Langkah ini menegaskan bahwa bank tersebut tidak lagi mampu menjalankan operasinya dengan baik. Izin usaha BJA resmi dicabut berdasarkan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK nomor KEP- /D.03/2024 tanggal 21 Mei 2024. Pencabutan izin ini menandai berakhirnya perjalanan BJA sebagai lembaga keuangan yang sempat menjadi tumpuan masyarakat Jepara dan sekitarnya.
Di sisi lain, pihak kuasa hukum Direktur Utama BJA sempat menyatakan bahwa kliennya bersedia bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi. Hasil penjualan aset milik bank, menurut mereka, dapat menutup sebagian besar kerugian yang diklaim mencapai Rp 352,4 miliar. Namun, langkah tersebut tidak cukup untuk memulihkan kerugian yang dialami nasabah dan deposan.
Di tengah krisis yang menimpa BJA, peran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjadi sangat penting dalam menjaga stabilitas sistem perbankan dan melindungi hak nasabah. Melalui program penjaminan simpanan, LPS memberikan kepastian kepada masyarakat bahwa dana mereka aman hingga batas yang ditentukan.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa pencairan klaim simpanan nasabah BJA telah dilakukan dalam waktu kurang dari 90 hari kerja terhitung sejak bank dicabut izin usahanya oleh OJK. Simpanan nasabah yang memenuhi syarat dalam program penjaminan simpanan, telah mendapatkan hak-haknya berupa pengembalian saldo simpanan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank.
Adapun syarat yang harus dipenuhi nasabah adalah simpanan wajib tercatat dalam sistem pembukuan bank, tidak menerima suku bunga simpanan melebihi Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) dan tidak terlibat dalam tindak pidana kejahatan perbankan.
LPS juga memiliki peran dalam mengawasi proses likuidasi aset bank yang telah dicabut izinnya. Dana hasil likuidasi tersebut akan digunakan untuk membayar kewajiban bank kepada para kreditur, termasuk nasabah yang memiliki simpanan di atas batas penjaminan. Dalam konteks ini, LPS memainkan peran vital dalam memitigasi dampak sistemik yang lebih luas akibat kebangkrutan bank, sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap industri perbankan.
Kasus BPR Jepara Artha memberikan pelajaran berharga bagi industri perbankan di Indonesia, terutama terkait pentingnya tata kelola yang baik dan pengawasan yang ketat. Kelalaian dalam pengelolaan kredit dan lemahnya pengawasan internal dapat menyebabkan kerugian besar, baik bagi bank itu sendiri maupun bagi nasabah dan perekonomian secara keseluruhan. Transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap regulasi menjadi kunci untuk mencegah kasus serupa terulang di masa depan.
Selain itu, kehadiran LPS sebagai lembaga penjamin simpanan memberikan rasa aman bagi nasabah dan menjaga stabilitas sistem perbankan. Namun, perbankan tetap harus bertanggung jawab dalam menjaga kesehatan keuangannya agar tidak bergantung pada mekanisme penjaminan semata.
Dalam dunia perbankan yang semakin kompleks, integritas, profesionalisme, dan manajemen risiko yang efektif adalah pilar utama yang harus ditegakkan. Kegagalan BJA menjadi pengingat bahwa kepercayaan adalah aset terpenting dalam industri ini, dan sekali kepercayaan itu hilang, butuh waktu lama untuk memulihkannya.