BeritaPerbankan – Risiko Indonesia mengalami stagflasi memang kecil, tetapi ketika negara Barat mengalaminya dampaknya akan terasa juga.
Ketika stagflasi terjadi, maka permintaan ekspor tentunya akan menurun. Memang porsi ekspor dalam produk domestik bruto (PDB) tidak sebesar konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto (PMTB), tetapi efeknya bisa merembet kemana-mana.
Ketika permintaan ekspor menurun, sektor manufaktur akan terkena efek negatifnya. Sementara sektor manufaktur merupakan kontributor terbesar PDB berdasarkan lapangan usaha. Kontribusinya nyaris mencapai 20%. Akibatnya aktivitas sektor manufaktur tentunya juga akan melambat. Ada risiko akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Selain itu, stagflasi yang terjadi bisa memicu meroketnya indeks dolar AS, sebab bank sentral AS (The Fed) terus menaikkan suku bunga guna menurunkan inflasi. Dolar AS pun merupakan aset safe haven, sehingga menjadi primadona. Indeks dolar AS mencapai puncak tertigginya di kisaran 164 pada Februari 1985.
Jika kondisi tersebut kembali terjadi, maka rupiah pun berisiko terpuruk.
Pada masa awal stagflasi di Amerika Serikat, indeks dolar AS mengalami penurunan. Tetapi, setelahnya kembali meroket sejak Januari 1980, dan terus menanjak. Rekor tertinggi indeks dolar AS tercatat sebesar 164,72 yang dicapai pada tahun 1985.
Ini membuktikan stagflasi bisa terjadi sangat panjang dan susah ‘disembuhkan’.
Ketika rupiah misalnya jeblok, maka harga impor akan semakin melonjak, dan ini bisa memicu inflasi tinggi di dalam negeri. Ketika inflasi terus menanjak, maka daya beli masyarakat akan berkurang. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi akan melambat.