BeritaPerbankan – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengingatkan agar tidak terjebak dalam stagnasi pasar otomotif di Indonesia. Peneliti senior LPEM FEB UI, Riyanto, menjelaskan bahwa dari sisi pasokan, Indonesia tidak mengalami masalah. Namun, permintaan pasar domestik cenderung stagnan meskipun banyak merek baru yang masuk ke pasar.
“Untuk produksi, masalahnya bukan pasokan, melainkan permintaan pasar yang stagnan,” kata Riyanto dalam diskusi tentang solusi mengatasi stagnasi pasar mobil di Gedung Kementerian Perindustrian, Rabu (10/7/2024). “Pasar lokal mengalami masalah selama 10 tahun. Ini menjadi penyakit jika dibiarkan, harus segera diatasi agar tidak menjadi lebih parah,” tegasnya.
Riyanto menguraikan bahwa salah satu penyebab stagnasi adalah pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang melambat. “Pada tahun 2000, pendapatan per kapita sekitar 1.000 USD, termasuk dalam kategori negara berpenghasilan rendah. Pada tahun 2013, pendapatan per kapita meningkat hampir tiga kali lipat, mendekati 4.000 USD. Namun, sejak 2012 hingga 2023, pendapatan per kapita melambat karena pertumbuhan ekonomi yang melambat, sehingga daya beli masyarakat terhadap mobil menurun,” jelasnya.
Salah satu alasan stagnasi pasar mobil adalah kenaikan harga mobil yang lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan inflasi. “Kenaikan harga mobil dari tahun 2013 hingga 2022, misalnya pada MPV entry level, mencapai sekitar 7% per tahun, lebih tinggi dari rata-rata inflasi. Pertumbuhan pendapatan per kapita dari tahun 2000 hingga 2013 sebesar 28,26%, sementara dari tahun 2013 hingga 2022 hanya 3,65%. Ini menyebabkan penjualan mobil dari tahun 2013 hingga 2022 rata-rata turun 1,6% per tahun,” sambung Riyanto.
Selain kenaikan harga mobil yang tidak seimbang dengan pendapatan per kapita, faktor ekonomi makro seperti nilai tukar dan tingkat suku bunga juga mempengaruhi penjualan mobil.
Puncak penjualan mobil di Indonesia terjadi pada tahun 2013 dengan 1.229.811 unit, namun terus menurun pada tahun-tahun berikutnya, meskipun tetap berada di kisaran satu juta unit. Penurunan ini dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2011-2013 serta program Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau (KBH2).
Riyanto menyebutkan beberapa wilayah yang masih memiliki potensi pasar besar, antara lain:
– Kalimantan Timur : Pendapatan per kapita 239 juta (2022), rasio kepemilikan 131 per 1.000 orang.
– Kalimantan Utara : Pendapatan per kapita 191 juta (2022), rasio kepemilikan 34 per 1.000 orang.
– Riau : Pendapatan per kapita 150 juta (2022), rasio kepemilikan 90 per 1.000 orang.
– Kepulauan Riau : Pendapatan per kapita 142 juta (2022), rasio kepemilikan 86 per 1.000 orang.
– Sulawesi Selatan : Pendapatan per kapita 106 juta (2022), rasio kepemilikan 84 per 1.000 orang.
Otoritas Jasa Keuangan melaporkan bahwa total piutang pembiayaan kendaraan bermotor mencapai Rp398,64 triliun pada April 2024, meningkat 13,02% secara tahunan (year-on-year/yoy). Pembiayaan mobil baru tercatat sebesar Rp150,69 triliun, meningkat 10% yoy, sementara pembiayaan mobil bekas mencapai Rp83,72 triliun, meningkat 25,82% yoy.
Riyanto juga menyatakan bahwa ada pertumbuhan mobil ramah lingkungan di Indonesia, meskipun pasarnya tahun ini tidak lebih baik dari tahun lalu. “Mobil listrik dan hybrid sebenarnya tumbuh. Market share hybrid pada Mei mencapai 6,4%, sedangkan BEV hampir 3%, jadi total mobil ramah lingkungan mencapai hampir 10%,” katanya.
“Dalam kondisi pasar yang lesu, pertumbuhan mobil listrik dan hybrid tetap ada. Pada tahun 2022, jumlah BEV sekitar 10 ribu, dan pada tahun 2023 meningkat menjadi 17 ribu. Sedangkan hybrid dari 10 ribu pada tahun 2022 menjadi 52 ribu pada tahun 2023,” jelas Riyanto. “Penurunan penjualan ICE sekitar 100 ribu unit, tapi yang beralih ke BEV dan HEV tidak mencapai 100 ribu, jadi memang ada penurunan pasar, terutama di ICE,” tambahnya.