Beritaperbankan – Setelah De Javasche Bank (DJB) dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) pada 1953, BI masih berkantor di gedung peninggalan DJB di Jakarta Kota atau tepatnya di Jalan Pintu Besar Utara hingga 1963.
Seiring tuntutan organisasi yang terus maju, kebutuhan fasilitas dan lahan yang lebih luas, serta untuk menjangkau visi yang jauh ke depan, maka muncul rencana pembangunan gedung baru di kawasan perkantoran yang dekat dengan pusat pemerintahan. Lahan yang dipilih untuk gedung baru tersebut terletak di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.
Pada saat itu, arsitek yang dipercaya untuk merancang gedung BI baru adalah F. Silaban. Seorang arsitek yang dijuluki oleh Soekarno sebagai arsitek by the grace of God ini juga dipercaya merancang bangunan Masjid Istiqlal, meskipun sang arsitek bukan seorang muslim. Gedung Thamrin inilah yang kemudian menjadi titik tolak berkembangnya konsep arsitektur di kompleks perkantoran terbesar di Jakarta, sekaligus menandai zaman baru dunia arsitektur di kalangan perbankan Indonesia.
Bertepatan dengan hari Bank 5 Juli 1963, gedung BI di Thamrin diresmikan oleh Presiden Soekarno. Setelah lebih dari satu dekade sejak kepindahannya ke Thamrin, BI menyusun sebuah Program Rencana Induk Kompleks Perkantoran Bank Indonesia (Rikoperbi) yang merupakan gambaran pengembangan Kantor Pusat BI dalam kurun waktu 10 tahunan.
Evaluasi Rikoperbi terbagi atas empat periode, yaitu Rikoperbi 1978, 1988, 1998, dan 2008 – 2009. Rencana Induk itu saat ini telah mewujud menjadi Komplek Perkantoran BI yang menempati area lahan yang dibatasi oleh jalan Thamrin, jalan Kebon Sirih, jalan Tanah Abang, dan jalan Budi Kemuliaan.
Selain Gedung tua nan ikonik yang didesain oleh Silaban, Gedung Thamrin diapit pula oleh menara kembar kombinasi warna biru dan perak tepat di belakangnya. Keduanya bisa dikatakan sebagai wajah modern bangunan BI. Menara kembar yang didesain oleh Ir Karnaya tersebut kemudian dinamakan Gedung A (Menara Radius Prawiro) dan Gedung B (Menara Sjafruddin Prawiranegara).
Sjafruddin Prawiranegara merupakan mantan Gubernur BI pertama yang menjabat tahun 1953-1958 yang sekaligus Presiden DJB terakhir pada periode 1952-1953. Sedangkan Radius Prawiro adalah mantan BI pada masa rehabilitasi perekonomian tahun 1966-1973. Salah satu prestasi menonol Prawiro, berhasil menurunkan inflasi yang mencapai 600 persen pada 1965 menjadi di bawah 50 persen.