BeritaPerbankan – Total dana pasar modal hingga 24 Mei 2022 mencapai Rp 100,1 triliun dari 79 penawaran umum menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dari jumlah penawaran umum itu, 23 di antaranya dilakukan oleh emiten baru. Dalam pipeline, saat ini terdapat 105 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran sebesar Rp 68,67 triliun.
Namun demikian, perlu dicermati tren kenaikan inflasi domestik dan dampak pelarangan ekspor CPO terhadap kinerja neraca perdagangan pada Mei 2022. Demikian mengutip dari keterangan tertulis, Rabu (25/5/2022).
Di tengah perkembangan tersebut, pasar keuangan domestik secara umum bergerak volatile sejalan dengan pelemahan pasar keuangan global seiring aksi risk off investor. Hingga 20 Mei 2022, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat melemah sebesar 4,3 persen mtd ke level 6.918, sejalan dengan aliran dana nonresiden yang tercatat outflow sebesar Rp9,23 triliun mtd.
Pasar SBN secara mtd juga terpantau melemah dengan rerata yield SBN naik 42,5 bps di seluruh tenor sejalan dengan outflow SBN investor nonresiden sebesar Rp37,81 triliun mtd. Sepanjang bulan Mei 2022, total net outflow nonresiden di IHSG dan pasar SBN adalah sebesar Rp47,04 triliun.
Selain itu, kredit perbankan tumbuh 9,1 persen yoy atau 3,69 persen ytd meningkat signifikan dari Maret yang tumbuh 6,67 persen yoy.
Secara sektoral, kredit sektor tambang dan manufaktur mencatat kenaikan terbesar secara mtm masing-masing sebesar Rp 21,5 triliun dan Rp 20,8 triliun.
Sementara dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 10,11 persen yoy atau 0,08 persen ytd. Industri asuransi mencatatkan penghimpunan premi asuransi pada April 2022 sebesar Rp 21,8 triliun dengan rincian asuransi jiwa sebesar Rp 8,6 triliun.
Asuransi umum dan reasuransi sebesar Rp 13,2 triliun. Fintech P2P lending pada April 2022 mencatatkan outstanding pembiayaan sebesar Rp38,68 triliun atau tumbuh sebesar 87,7 persen yoy. Piutang perusahaan pembiayaan pada April 2022 tumbuh sebesar 4,51 persen yoy.
OJK menyatakan, peningkatan kinerja intermediasi tersebut terjadi di tengah perekonomian global yang masih menghadapi tekanan inflasi yang persisten tinggi dan telah mendorong pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif oleh mayoritas bank sentral dunia.
Konflik Rusia-Ukraina serta terganggunya global supply chain akibat lockdown di Tiongkok terus mendorong kenaikan harga komoditas terutama energi dan pangan. Kenaikan inflasi yang diikuti oleh pengetatan kebijakan moneter global telah meningkatkan potensi terjadinya hard landing sehingga meningkatkan volatilitas di pasar keuangan global dan terjadinya outflow dari pasar keuangan emerging markets.
Namun demikian, kinerja perekonomian domestik masih terjaga terlihat dari rilis PDB kuartal I-2022 yang terpantau sebesar 5,01 persen yoy diikuti dengan peningkatan kinerja mayoritas perusahaan publik pada periode yang sama.
Indikator ekonomi high frequency juga terpantau masih positif, mengindikasikan berlanjutnya pemulihan ekonomi. Selain itu, Pemerintah juga telah menaikkan anggaran subsidi energi menjadi Rp443,6 triliun, terbesar sepanjang sejarah.
Profil risiko lembaga jasa keuangan pada April 2022 masih relatif terjaga dengan rasio NPL gross perbankan tercatat sebesar 3,00 persen (NPL net: 0,83 persen).
Sementara itu, likuiditas perbankan berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid/DPK per April 2022 terpantau masing-masing pada level 131,21 persen dan 29,38 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Perbankan dinilai dapat memenuhi peningkatan GWM lanjutan sebesar 1 persen per Juni 2022 dengan likuiditas yang dipandang masih memadai untuk menyalurkan kredit dalam rangka melanjutkan momentum pemulihan ekonomi.
Permodalan lembaga jasa keuangan sampai saat ini terjaga dengan pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio perbankan tercatat sebesar 24,32 persen.
Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing tercatat sebesar 506,22 persen dan 321,51 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen. Begitupun gearing ratio perusahaan pembiayaan yang sebesar 2,01 kali, jauh di bawah batas maksimum 10 kali.
Ke depan, OJK akan terus memperkuat koordinasi dengan para stakeholder dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan khususnya dalam mengantisipasi risiko tekanan inflasi global dan pengetatan kebijakan bank sentral dunia.