BeritaPerbankan – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani, menegaskan bahwa proyeksi ekonomi dunia masih suram hingga tahun depan. Beliau mengingatkan besarnya tantangan serta berbagai risiko ekonomi global yang mungkin terjadi hingga 2025.
Setidaknya ada enam tantangan besar yang harus dihadapi dunia ke depan, yaitu suku bunga tinggi, restriksi perdagangan yang semakin ketat, volatilitas harga komoditas, ketegangan geopolitik, mulai menuanya populasi dunia, dan dampak buruk perubahan iklim.
“Kita lihat geopolitik yang menyebabkan perubahan besar dan bahkan membuat tatanan ekonomi baru. Restriksi perdagangan baru yang muncul pada 2021 melonjak. Pada 2023 ada 3.000 trade restriction diberlakukan dengan nilai yang tidak main-main,” ujar Sri Mulyani.
Tantangan ini mencakup aspek ekonomi, seperti inflasi. Lonjakan inflasi di beberapa negara maju direspons dengan kenaikan suku bunga acuan. Kini, suku bunga acuan berada di level tinggi dalam waktu yang lama karena inflasi tak kunjung reda.
Di dalam negeri, kondisi ekonomi mulai menghadapi tantangan serupa. Nilai tukar rupiah serta tingginya suku bunga saat ini membuat ekonomi Indonesia dalam ancaman. Jika kondisi ini berlanjut, beragam dampak buruk bisa menghantam Indonesia, mulai dari ancaman PHK hingga daya beli yang melemah.
Data ekonomi seperti di bawah ini cukup memberikan kecemasan:
- Dolar Naik, Rupiah Jeblok
Indeks dolar AS (DXY) cenderung naik belakangan ini. Pada pertengahan Maret 2024, DXY berada di angka 103 dan pada 22 April 2024 menguat menjadi 106, naik 2,91%.
Kenaikan DXY memberikan tekanan pada rupiah. Pada pertengahan Maret 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih di angka Rp15.575/US$. Namun, pada 19 April 2024, rupiah jatuh ke level Rp16.250/US$.
Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, menyampaikan bahwa pelemahan rupiah sejak akhir Desember 2023 mencapai 4,93%, lebih baik dibandingkan mata uang Filipina, Korea Selatan, dan Thailand yang sudah di atas 5%.
- Pertumbuhan Kredit Menurun
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengatakan pertumbuhan kredit perbankan tertinggi pada sektor investasi sebesar 14,83% yoy. Kredit modal kerja dan konsumsi masing-masing tumbuh 12,30% dan 10,22%.
Berdasarkan jenis penggunaan, mayoritas pembiayaan untuk Rumah Tangga (RT) pada Februari 2024 mengalami kemunduran untuk Kredit Multi Guna (KMG) dari 39,3% menjadi 37,7%. Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) juga turun menjadi 22,6%. Kredit peralatan RT menurun menjadi 12% dari sebelumnya 12,9%.
- Penjualan Mobil Menurun
Penjualan mobil mengalami penurunan pada tiga bulan pertama 2024. Berdasarkan data PT Astra International Tbk, penjualan wholesales terkoreksi 23,8% yoy menjadi 215.069 unit pada periode Januari-Maret 2024, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 282.601 unit.
- Suku Bunga Acuan Tinggi
Kenaikan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 7,00% berdampak pada kredit yang berpotensi semakin mahal. Jika bunga kredit terus naik, masyarakat cenderung tidak mau mengambil kredit baik untuk pribadi maupun ekspansi bisnis, mengganggu pertumbuhan ekonomi.
- Harga Pangan Ikut Melonjak Tinggi
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi pada Mei 2024 sebesar 0,03% mtm dengan inflasi tahunan sebesar 2,84% yoy.
Pada 10 April 2024, harga beras premium Rp16.360 per kg dan beras medium Rp14.120 per kg, naik dari Agustus 2022 ketika harga beras premium Rp12.310 per kg dan beras medium Rp10.700 per kg.
- Porsi Pengeluaran untuk Konsumsi Menurun
Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Mei 2024 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Mei 2024 menurun menjadi 125,2 dari 127,7 pada April 2024, meskipun tetap dalam area optimis. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Mei 2024 masing-masing tercatat sebesar 115,4 dan 135,0.
Porsi pengeluaran responden untuk konsumsi turun, termasuk pembelian barang tahan lama (durable goods) dari 116,4 pada Maret menjadi 112,7 pada Mei 2024. Proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi menurun dari 73,6% menjadi 73% pada Mei 2024.
- Rasio NPF Naik
Rasio pembiayaan bermasalah atau non-performing financing (NPF) industri multifinance naik pada tahun ini. Data OJK per April 2024 mencatat rasio NPF gross sebesar 2,82%, naik 35 basis poin (bps) secara tahunan, dan NPF net per April 2024 naik 20 bps menjadi 0,89%.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, menilai NPF naik karena daya beli masyarakat tertekan harga kebutuhan pokok yang melonjak sejak akhir 2023. “Dengan demikian, pasti ada sekelompok orang yang pembayaran cicilannya tertunda,” katanya.