BeritaPerbankan – Industri aset kripto di Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang pesat, terlihat dari meningkatnya nilai transaksi dan jumlah investor. Data terbaru dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menunjukkan bahwa pada Agustus 2024, nilai transaksi kripto mencapai Rp 48,92 triliun, naik 15,54 persen dari bulan sebelumnya yang tercatat Rp 42,34 triliun.
Pertumbuhan ini menunjukkan prospek yang cerah untuk industri kripto di Indonesia, meskipun tantangan makroekonomi masih menjadi perhatian. Sejak awal tahun, peningkatan nilai transaksi dan investasi kripto sangat signifikan. Dari Januari hingga Agustus 2024, total nilai transaksi kripto mencapai Rp 391,01 triliun, meningkat 360,03 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, yang mencatat Rp 149,3 triliun.
Tether USD (USDT), Bitcoin (BTC), Ethereum (ETH), USD Coin (USDC), dan Pepe (PEPE) tampak mendominasi transaksi di Indonesia. Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, menyatakan bahwa peningkatan ini dipengaruhi oleh tingginya minat masyarakat terhadap kripto sebagai alternatif investasi.
“Pertumbuhan nilai transaksi kripto di Indonesia didorong oleh meningkatnya literasi digital dan kripto yang dilihat sebagai investasi alternatif yang menarik. USDT, Bitcoin, dan Ethereum terus menjadi instrumen yang paling diminati oleh investor di Indonesia,” kata Tirta dalam pernyataan resminya, Senin (7/10/2024).
Selain itu, jumlah investor kripto di Indonesia juga meningkat. Hingga Agustus 2024, jumlah pelanggan kripto telah mencapai 20,9 juta, bertambah hampir 400 ribu dari bulan sebelumnya. Tren ini menunjukkan adopsi kripto yang konsisten di masyarakat, meskipun volatilitas aset kripto masih menjadi perhatian utama. Menurut laporan Triple-A, sekitar 13,9% populasi Indonesia telah memiliki aset kripto, menempatkan Indonesia di posisi ke-12 secara global dalam hal kepemilikan kripto.
Meski laporan ini menunjukkan angka yang lebih besar dibandingkan data Bappebti yang mencatat 20,9 juta pelanggan, perbedaan tersebut bisa disebabkan oleh metode pengukuran yang berbeda.