Berita Perbankan – Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti tentang maraknya bisnis rentenir di tengah masyarakat.
Pinjaman rentenir yang dikenal dengan bunga yang tinggi itu tak jarang menjerat masyarakat dan para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM). Prosedur peminjaman uang yang relatif lebih mudah menjadi daya tarik tersendiri bagi para debitur dibandingkan harus meminjam uang ke bank.
Purbaya mengatakan masyarakat dan UMKM yang terjerat rentenir merupakan pangsa pasar yang besar bagi bank perkreditan rakyat (BPR) untuk mengembangkan bisnis dan usahanya.
Purbaya menambahkan saat ini bisnis rente masih menguasai perekonomian nasional. LPS berharap jerat rentenir tersebut dapat dihilangkan dengan masuknya BPR di tengah-tengah masyarakat dan pelaku UMKM.
Purbaya meminta BPR/BPRS mampu meningkatkan daya saing di tengah perkembangan digitalisasi perbankan. Meningkatkan kualitas pelayanan, mengembangkan produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah, mengadopsi teknologi digital dengan memperhatikan aspek keamanan data nasabah dan memberikan pengalaman transaksi perbankan yang mudah, cepat, murah dan efektif tanpa terbatas ruang dan waktu.
“Kita lihat rentenir masih menguasai ekonomi Indonesia, masih banyak sekali. Artinya selama itu (rentenir) ada, maka BPR masih akan dibutuhkan,” ucapnya saat mengumumkan kebijakan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Purbaya menjelaskan banyaknya masyarakat yang terjerat pinjaman rentenir merupakan bukti masih rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat. BPR dapat mengambil peran memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengakses pinjaman melalui lembaga keuangan yang terpercaya dan terdaftar di OJK.
“Jadi, mereka (BPR) kalau mau mengajari masyarakat kelas bawah yang membutuhkan dengan tekun lebih, di mana literasi masih rendah. Ruang pertumbuhan (BPR) mereka masih cukup besar,” ungkapnya.
BPR/BPRS menjadi salah satu lembaga keuangan yang dapat diakses masyarakat dan pelaku UMKM untuk pembiayaan maupun menyimpan uang. Terlebih BPR juga merupakan peserta penjaminan LPS.
Simpanan nasabah di BPR/BPRS akan dijamin LPS hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank dengan syarat 3T yaitu simpanan tercatat di sistem pembukuan bank, tidak menerima bunga simpanan di atas tingkat bunga penjaminan dan tidak menyebabkan bank gagal seperti pada kasus kredit macet.
Nasabah harus memperhatikan bunga simpanan yang diterima dari bank tidak boleh melebihi tingkat bunga penjaminan simpanan di BPR yaitu 6,75 persen agar simpanan nasabah mendapatkan jaminan dari LPS saat bank dilikuidasi atau ditutup izin usahanya oleh OJK.
Purbaya mengingatkan kepada pemilik dan pengelola unit BPR agar meningkatkan kualitas kinerja perusahan, menjalankan bisnis secara pruden (berhati-hati) dengan memperhitungkan faktor risiko guna meminimalisir potensi kebangkrutan.
LPS mencatat setiap tahunnya setidaknya terdapat 6 BPR/BPRS yang ditutup izin usahanya oleh OJK. Penyebabnya tidak hanya faktor kondisi ekonomi namun sebagian justru diakibatkan ulah pemilik dan pengelola yang menggerogoti bank tersebut hingga bangkrut.
Purbaya optimis BPR mampu mengambil ceruk pangsa pasar nasabah rentenir, sebab bisnis rente tersebut tidak memiliki izin dari OJK. Maraknya masyarakat mengambil pinjaman dari rentenir disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang peran BPR serta prosedur dan persyaratan peminjaman uang yang menyulitkan nasabah.
LPS terus konsisten melakukan kegiatan sosialisasi tentang program penjaminan simpanan LPS, literasi keuangan dan edukasi peran perbankan di masyarakat. Semakin tinggi tingkat literasi masyarakat maka semakin tinggi pula minat masyarakat mengakses berbagai produk perbankan, termasuk pinjaman modal usaha. Sehingga diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang menderita akibat terjerat rentenir.