BeritaPerbankan – Upaya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk mendorong perkembangan ekonomi hijau di industri perbankan masih terganjal peraturan undang-undang.
LPS memiliki rencana memberikan potongan tarif premi bagi perbankan yang menyalurkan kredit hijau sebagai bentuk apresiasi bagi perbankan yang berkontribusi aktif melaksanakan ekonomi hijau atau green economy.
Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih mengatakan saat ini LPS belum dapat merealisasikan wacana tersebut sebab belum memiliki payung hukum yang jelas. Penetapan tarif premi penjaminan LPS telah diatur secara rigid dalam undang-undang.
Lana menambahkan perlu adanya perubahan dalam Undang-Undang untuk mengakomodir upaya pengembangan ekonomi hijau di industri perbankan nasional.
Sempat beredar kabar bahwa LPS akan menetapkan tarif premi penjaminan berdasarkan tingkat risiko bank. Semakin kecil risiko bank maka tarif premi yang dibebankan juga semakin kecil.
Namun Lana menegaskan saat ini skema penentuan tarif premi penjaminan masih mengacu pada aturan undang-undang yang berlaku.
“LPS masih harus mengkaji lagi isu memberikan potongan premi bagi perbankan yang menyalurkan kredit hijau. Karena, UU itu mengatur premi secara flat, itu harus diubah dulu,” ujar Lana.
Penetapan tarif premi penjaminan berbasis risiko di Indonesia memerlukan waktu yang cukup lama. Selain masih terbentur undang-undang, untuk menetapkan premi berbasis risiko maka LPS harus memiliki aset 2,5 persen dari total simpanan perbankan.
Berdasarkan data per September 2022 tingkat penjaminan simpanan LPS adalah 1,82 persen dari total simpanan perbankan dengan penghitungan tarif premi yang harus dibayarkan perbankan kepada LPS yaitu 0,1 persen dari total simpanan per enam bulan.
Penetapan premi berbasis risiko saat ini baru dilaksanakan oleh Amerika Serikat, Korea Selatan dan Malaysia. Lana menjelaskan Amerika Serikat membutuhkan waktu 60 tahun untuk beralih dari penetapan premi flat menjadi berbasis risiko.
LPS mengungkapkan tantangan lain yang harus dihadapi untuk merealisasikan penetapan tarif berbasis risiko adalah industri perbankan Indonesia yang sangat besar, yang terdiri dari 107 bank umum, 1.451 BPR yang tersebar di seluruh wilayah tanah air.
Hal itu membuat pengawasan dan cakupan perhitungan tarif premi menjadi sangat kompleks sehingga memerlukan waktu yang cukup lama.
Data LPS pada akhir tahun 2021 menunjukan adanya pertumbuhan total aset LPS sebesar 15,59 persen menjadi Rp 162,01 triliun. Portofolio Investasi Surat Berharga LPS pada akhir tahun 2021 juga tercatat naik 14,25 persen menjadi Rp 152,39 triliun.