BeritaPerbankan – Menteri keuangan Sri Mulyani mengumumkan jumlah utang RI hingga Agustus 2021 mencapai Rp. 6.625,43 triliun rupiah. Jumlah utang tersebut setara dengan 40,85% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Lebih spesifik Sri Mulyani mengatakan penambahan jumlah utang bulan Agustus 2021 sebesar Rp. 55,27 triliun. Dalam keterangannya, Menkeu mengatakan ada penurunan utang Surat Berharga Negara (SBN) dalam valuta asing sebesar Rp. 15,42 triliun. Sementara itu, utang dari SBN mengalami kenaikan sebesar Rp. 80,1 triliun.
Pemerintah juga mengambil pinjaman luar negeri yang biayanya efisien dan beresiko rendah. Kementerian keuangan dalam rilisnya juga mengatakan telah melakukan debt swap, yaitu membayar utang dengan cara barter program pembangunan yang sesuai dengan minat negara kreditur.
Keputusan pengambilan utang dari berbagai sumber sebagai upaya pemerintah memulihkan perekonomian akibat pandemi covid 19.
Meski demikian, Sri Mulyani tetap akan memantau laju catatan utang RI agar tetap proporsional dan fleksibel. Kenaikan utang negara memicu kekhawatiran apakah RI sanggup membayar utang sebesar itu? Yakin bisa bayar?
Pemerintah Yakin Bisa Bayar Utang?
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pemerintah optimis utang tersebut bisa dibayar lunas. Suahasil menambahkan roda perekonomian negara harus terus berputar cepat agar pendapatan negara juga meningkat.
Utang yang diperoleh beberapa diantaranya digunakan untuk memperbaiki iklim usaha pasca rontok akibat pandemi.
Wamenkeu mengklaim upaya pemerintah menambah utang negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Menurutnya tidak masalah negara berutang untuk modal usaha, supaya pendapatan negara meningkat. Terlebih beban anggaran negara semakin membengkak saat pandemi.
Sebagai catatan tahun 2020 anggaran penanganan covid 19 mencapai Rp. 559 triliun. Pada tahun 2021 diprediksi akan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 690 triliun.
Kapan Indonesia Bisa Melunasi Utang Rp. 6,625 Triliun ?
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira pada Januari 2021 pernah mengatakan bahwa Indonesia diprediksi belum bisa melunasi utang negara pada tahun 2050. Pada Januari lalu utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 6.074,56 triliun.
Bhima menambahkan tidak ada kata lunas utang, karena utang yang jatuh tempo akan dibayar dengan penerbitan utang baru. Apabila desain APBN kita masih defisit, maka negeri ini tidak bisa lepas dari utang.
Bhima khawatir Indonesia akan berada pada posisi debt overhang, yaitu kondisi dimana utang semakin banyak dan akan mempersulit pertumbuhan ekonomi. Setidaknya setiap tahun negara harus membayar bunga utang sebesar 19% yang diambil dari APBN.
Pembiayaan pendidikan, belanja kesehatan dan pembangunan akan terhambat karena alokasi dana yang tidak terfokus. Dalam kondisi seperti ini akan sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 7-10%.
Bhima menyoroti belanja negara yang boros seperti belanja pegawai dan belanja barang. Untuk merampingkan APBN pemerintah perlu memangkas pos-pos belanja yang rawan dikorupsi. Misalnya soal bantuan sosial, Bhima lebih menyarankan untuk transfer langsung kepada rekening bank penerima manfaat bantuan sosial. Dengan pengeluaran yang disiplin RI tidak perlu terus menumpuk utang.
Bahaya Negara Banyak Utang
Dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan pemerintah pusat, BPK memberikan catatan yang perlu diwaspadai oleh pemerintah terkait tren penambahan utang luar negeri.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna khawatir negara tidak akan sanggup membayar utang, sebab jumlah utang dan biaya bunga utang sudah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara.
BPK juga mengungkapkan bahwa catatan utang RI sudah melampaui rekomendasi batas maksimum utang IMF. rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77% melampaui rekomendasi IMF sebesar 25% – 35%.
Dalam sejarah dunia sudah ada beberapa negara yang bangkrut dan hancur akibat negara tak sanggup melunasi utang yang menggunung. Sebut saja Yunani yang dinyatakan bangkrut pada tahun 2015 lalu. Negeri para dewa itu tidak sanggup membayar utang senilai US$138 miliar atau Rp1.987 triliun (kurs Rp14.400 per dolar AS).
Negeri di amerika latin, Argentina juga sempat dinyatakan gagal bayar (default) utang ke IMF sebesar US$45 miliar atau Rp648 triliun.
Tahun 2008 bisa dibilang tahun kelam bagi negara Zimbabwe. Negara di benua afrika itu terlilit utang sebesar US$4,5 miliar atau Rp64,8 triliun. Di sisi lain tingkat pengangguran Zimbabwe tak terkendali hingga menyentuh level 80 persen.
Kondisi tersebut makin diperparah karena masyarakat Zimbabwe berhenti menggunakan bank dan tidak membayar pajak. Masyarakat tidak sanggup membeli bahan pokok saat itu.
Pada 2017, Presiden Venezuela Nicolas Maduro menyatakan bahwa negaranya tidak sanggup membayar seluruh utang negara. Kreditur terbesar bagi Venezuela adalah China dan Rusia.
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) mempertahankan peringkat utang atau Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada BBB/Outlook negatif.
Indonesia menurut pengamatan mereka memiliki prospek pertumbuhan ekonomi yang cukup baik serta kebijakan ekonomi yang mendukung.
S&P mengapresiasi pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh pemerintah yang akan menciptakan banyak lapangan kerja dan mendatangkan modal asing untuk mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Dalam laporannya S&P memprediksi pada tahun 2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menguat, seiring dengan percepatan program vaksinasi dan aktifitas perkenonomian yang mulai dibuka secara bertahap.