BeritaPerbankan – Undang-undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang resmi disahkan pada Kamis (15/12), salah satunya mengamanahkan tiga tugas baru kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yaitu menjamin polis asuransi, melaksanakan resolusi bank dan menyelesaikan permasalahan perusahaan asuransi yang dicabut izin usahnya oleh otoritas sesuai kewenangan.
Dalam Pasal 337 UU PPSK Pemerintah dan DPR resmi menghapus istilah ‘bank gagal’ menjadi ‘bank dalam resolusi’ yang mana penanganan bank dalam resolusi akan dilaksanakan oleh LPS.
UU PPSK tentang LPS Pasal 1 ayat (7) dijelaskan definisi bank dalam resolusi adalah bank yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangannya.
UU PPSK dinilai memperkuat peran LPS dalam menangani bank yang bermasalah. LPS bertugas merumuskan, menetapkan dan melaksanakan kebijakan resolusi bank yang sudah ditetapkan statusnya sebagai bank dalam resolusi oleh OJK.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengungkapkan alasan di balik penghapusan terminologi bank gagal menjadi bank dalam resolusi.
Febrio, yang merupakan Ketua Panja Pemerintah dalam pembahasan UU PPSK, mengatakan istilah bank gagal saat ini sudah tidak relevan dan tidak mencerminkan kondisi bank yang bersangkutan.
Dia menjelaskan bank sakit atau yang sedang bermasalah masih memiliki potensi untuk kembali sehat. Istilah bank dalam resolusi dinilai tepat karena mencerminkan proses yang dilakukan untuk menangani permasalahan bank yang muncul.
“Kalau bank gagal kesannya sudah ada di titik tertentu, padahal yang ingin kita cerminkan itu adalah bahwa kondisi bank tertentu ada dalam sense of continuum. Kita ingin melihat dia bagian dari proses,” jelas Febrio.
Febrio menambahkan permasalahan setiap bank tentu akan berbeda satu sama lainnya. Persoalan bank tidak hanya berkaitan dengan masalah likuiditas namun juga masalah insolvensi.
Terkait status bank dalam resolusi, terdapat sejumlah indikator objektif untuk menetapkan status sebuah bank dalam resolusi.
“Di dalam undang-undang ini, kita harapkan dan dilakukan cukup tegas adalah kapan dia disebut sebagai bank yang memiliki masalah likuiditas, atau kapan disebut sebagai insolvensi,” kata Febrio.
Kewenangan LPS dalam menangani bank dalam resolusi semakin diperkuat. Setelah LPS mendapatkan pemberitahuan tertulis dari OJK atas bank dalam resolusi, maka LPS, sesuai dengan Pasal 25 tentang LPS dalam UU PPSK, berwenang mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan pada bank tersebut.
LPS berhak meninjau ulang, membatalkan, mengubah atau mengakhiri setiap kontrak yang mengikat bank dalam resolusi.
Selain itu LPS juga akan bertindak sebagai risk minimizer yang memungkinkan LPS masuk lebih awal untuk mengatasi permasalahan bank lebih dini dan menjadi bagian dari pengawasan bank tersebut.
Dengan kata lain, LPS dapat bertindak lebih cepat melakukan early mitigation saat ada indikasi bank bermasalah. Hal itu juga bertujuan agar LPS memahami betul kondisi bank bermasalah tersebut, sehingga tidak kaget jika akhirnya bank mengarah ke resolusi.
“Dia tahu benar bank yang sedang mengalami masalah tersebut,” ujarnya lagi.
LPS juga diberikan ruang untuk masuk dalam bank tersebut untuk mendorong pemegang saham agar memiliki tanggung jawab dan peran dalam melakukan upaya penyehatan bank tersebut.
Fungsi LPS dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) diperkuat dengan hak voting saat terjadi krisis yang sebelumnya tidak berikan sebelum disahkannya UU PPSK.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa menilai UU PPSK merupakan tonggak penguatan sektor keuangan yang mampu mendukung stabilitas sistem keuangan yang semakin baik dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
“Selain itu, UU P2SK juga memperkuat koordinasi antar anggota KSSK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan atau SSK,” kata Purbaya.