BeritaPerbankan – Undang-undang (UU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) memberikan tugas ekstra kepada Lembaga Penjmain Simpanan (LPS). Sebelumnya LPS hanya memiliki dua tugas yaitu menjamin simpanan nasabah perbankan dengan nilai penjaminan hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank dan ikut menjaga stabilitas sistem keuangan di sektor perbankan.
Setelah DPR RI resmi mengesahkan UU PPSK pada Kamis (15/12) maka tugas LPS bertambah menjadi lima. Tiga tugas baru tersebut yaitu menjamin polis asuransi, melakukan resolusi bank dan menyelesaikan permasalahan perusahaan asuransi yang telah dicabut izin usahnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam UU PPSK peran LPS semakin besar dalam menangani bank dalam resolusi. Perlu diketahui bahwa UU PPSK telah menghapus terminologi bank gagal menjadi bank dalam resolusi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menjelaskan terminologi bank gagal dinilai tidak mencerminkan kondisi bank yang sebenarnya.
Kendati bank bermasalah bukan berarti akan berujung pada kebangkrutan. Masih ada potensi bank menjadi sehat kembali setelah dilakukan berbagai upaya penyehatan.
Oleh sebab itu istilah bank dalam resolusi menjadi lebih relevan digunakan untuk merujuk pada situasi bank yang terindikasi sedang dalam masalah.
“Kalau bank gagal kesannya sudah ada di titik tertentu, padahal yang ingin kita cerminkan itu adalah bahwa kondisi bank tertentu ada dalam sense of continuum. Kita ingin melihat dia bagian dari proses,” jelas Febrio.
Dalam upaya penyehatan bank dalam resolusi, LPS berperan sebagai early involvement. LPS memiliki kewenangan masuk ke dalam internal bank tersebut untuk mendeteksi lebih dini permasalahan yang dihadapi bank tersebut, sehingga LPS mampu mengantisipasi kesehatan bank, sebelum mengalami masalah solvensi.
“Karena kita ingin otoritas bisa lebih cepat antisipasi, begitu satu bank berada dalam status penyehatan, LPS bisa masuk,” ujarnya.
Febrio menambahkan bank bermasalah yang masuk dalam resolusi wajib menyusun rencana resolusi kepada LPS. Hal itu akan mempermudah LPS dalam menjalankan resolusi karena sudah memahami lebih awal permasalahan yang dihadapi bank dalam resolusi tersebut.
“Kenapa LPS masuk di awal, ini agar LPS bisa mengerti masalah yang ada di bank itu secara cepat,” kata Febrio.
Sejumlah kewenangan lebih luas diberikan kepada LPS dalam rangka menangani bank bermasalah. LPS dapat memberikan dana pinjaman jangka pendek dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
LPS juga berwenang menawarkan kepada bank lain yang bersedia menangani masalah aset bank dalam resolusi dan menjajaki calon investor untuk mengambil alih bank tersebut.
Opsi tersebut dinilai mampu mencegah terjadinya penutupan bank yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Dengan berbagai pilihan solusi itu diharapkan bank dalam resolusi kembali sehat dan beroperasi melayani nasabah.
Di samping itu, LPS juga berhak memerintahkan pemegang saham untuk mengganti jajaran direksi atau komisaris dan menunjuk pihak lain sebagai pengelola.
LPS yang merupakan anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam UU PPSK kini telah memiliki hak voting yang sebelumnya tidak diberikan.
Hal itu dinilai mampu meningkatkan kolaborasi antara lembaga keuangan di KSSK, sehingga koordinasi anggota KSSK berjalan lancar dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa menyambut positif pengesahan UU PPSK dan tugas-tugas baru LPS tersebut.
LPS optimis tugas, fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh UU PPSK mampu memperkuat kinerja LPS dan berkontribusi dalam pengembangan dan penguatan sektor keuangan.
“Kami meyakini bahwa pada implementasinya nanti, UU PPSK akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perekonomian nasional melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal,” tutupnya.