BeritaPerbankan – Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menargetkan pelaksanaan Program Penjaminan Polis (PPP) akan dimulai pada tahun 2028. Program ini dirancang untuk memberikan perlindungan bagi pemegang polis jika perusahaan asuransi tempat mereka terdaftar mengalami kegagalan atau dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Program Penjaminan Polis merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan (UU PPSK). Kehadiran program ini bertujuan untuk memperkuat perlindungan terhadap konsumen asuransi dan mendorong kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi nasional.
Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS, Ridwan Nasution, menjelaskan bahwa program ini memiliki mekanisme yang berbeda dibandingkan dengan sistem reasuransi yang selama ini dijalankan oleh perusahaan asuransi.
Menurut Ridwan, reasuransi merupakan skema di mana perusahaan asuransi berbagi risiko dengan perusahaan reasuransi saat perusahaan tersebut masih beroperasi. Ia mencontohkan, jika sebuah polis asuransi memiliki nilai manfaat sebesar Rp1 miliar, maka sebagian nilainya—misalnya Rp500 juta—dapat dialihkan ke perusahaan reasuransi.
“Jika terjadi klaim, perusahaan asuransi tetap membayar seluruh klaim terlebih dahulu, lalu menagih sebagian nilainya ke perusahaan reasuransi,” jelas Ridwan dalam konferensi Indonesia Re International Conference 2025 di Menara Danareksa, Selasa (22/7/2025).
Sebaliknya, PPP justru akan aktif ketika perusahaan asuransi sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya dan izin usahanya telah dicabut oleh OJK. Jaminan ini akan mencakup asuransi jiwa dan asuransi umum diantaranya asuransi kesehatan, properti dan kecelakaan.
“Begitu izinnya dicabut dan tidak ada lagi yang mengelola polis milik masyarakat, LPS akan masuk untuk menjamin pembayaran kepada pemegang polis,” ujarnya.
Untuk produk unit link, Ridwan menegaskan bahwa penjaminan hanya berlaku untuk unsur proteksi, sementara itu unsur investasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemegang polis.
“Kalau investasi, risikonya seharusnya sudah dipahami sejak awal oleh nasabah. Jadi yang dijamin hanya proteksinya,” katanya.
Untuk asuransi yang berkaitan dengan bencana alam, LPS akan meninjau berdasarkan nilai klaim manfaatnya. Misalnya, asuransi mobil akibat banjir atau asuransi rumah yang terdampak gempa akan dilihat dari skala pertanggungannya.
“Kita akan melihat nanti, apakah manfaat yang dijamin memang menyasar kebutuhan masyarakat luas,” ujar Ridwan.
Selain itu, LPS akan melihat kontrak-kontrak asuransi yang masih berlaku saat perusahaan dicabut izinnya. Manfaat polis yang dijamin pun memiliki batas tertentu, dan tidak semua nilai manfaat polis otomatis dijamin secara penuh.
“Bisa saja sebelumnya sudah ada restrukturisasi kontrak dan sebagainya. Tapi yang dilihat nanti adalah jumlah kontrak akhir, dan LPS akan menjamin hingga batas tertentu,” jelas Ridwan.
Sama seperti penjaminan dana simpanan perbankan, PPP akan memiliki batas nilai penjaminan. Namun hingga kini, ketentuan terkait batas tersebut masih dalam pembahasan dengan Kementerian Keuangan.
“Besaran nilai yang dijamin akan ditentukan kemudian, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan konsumen dan ketahanan sistem keuangan,” kata Ridwan.
Dalam pelaksanaannya, setiap perusahaan asuransi wajib menjadi peserta Program Penjaminan Polis. Namun, tidak semua perusahaan langsung memenuhi syarat.
Ridwan menyebut bahwa perusahaan yang akan mengikuti program ini harus dinyatakan sehat secara finansial. Salah satu indikator yang digunakan adalah Risk Based Capital (RBC) atau tingkat permodalan berbasis risiko. Namun demikian, Ridwan menekankan bahwa kriteria kelayakan tersebut masih dalam tahap finalisasi bersama Kementerian Keuangan dan pemangku kepentingan terkait.