BeritaPerbankan – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah merancang aturan baru mengenai penerapan skema co-payment di industri asuransi yang bertujuan mengatur pembagian porsi tanggung jawab biaya antara penyedia asuransi dan nasabah. Kedepannya, nasabah atau pemegang polis akan dikenakan 10% dari total klaim yang diajukan.
Rencana kebijakan baru ini mendapat berbagai tanggapan dari masyarakat, sebagian besar menilai bahwa skema tersebut justru memperbesar beban finansial yang harus ditanggung oleh nasabah. Namun Pelaksana Tugas Kepala IFG Progress, Ibrahim Kholilul Rohman, menolak anggapan itu dan menyatakan bahwa skema co-payment tidak sepatutnya dilihat hanya dari sisi pembagian beban antara perusahaan dan pelanggan.
Menurutnya, kebijakan ini harus dilihat dalam kerangka ekosistem layanan kesehatan yang utuh, karena mencakup banyak pihak, mulai dari sektor farmasi, fasilitas rumah sakit, tenaga kesehatan, hingga pasien yang berperan sebagai pemegang polis. “Harus dilihat dari keseluruhan mata rantai nilai dalam sistem kesehatan,” jelas Ibrahim pada Rabu (30/7/2025).
Ibrahim berpendapat bahwa saat ini masyarakat lebih banyak menyoroti perusahaan asuransi ketika membahas skema pembagian biaya tersebut. Akibatnya, muncul anggapan bahwa hanya ada satu pihak yang diuntungkan sementara pihak lain dirugikan. Ibrahim juga menekankan pentingnya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai cara kerja teknis dari skema co-payment.
Sebagai respons terhadap meningkatnya nilai klaim asuransi akibat praktik pemberian tindakan medis yang berlebih (overtreatment) dan penggunaan obat yang tidak tepat (overmedication) oleh rumah sakit dan industri farmasi, menjadi latar belakang perumusan kebijakan oleh OJK.
Ibrahim menyatakan bahwa perusahaan asuransi harus memberlakukan proses evaluasi dan seleksi klaim secara ketat untuk mencegah pengajuan klaim yang tidak sesuai, serta memastikan bahwa pembayaran dilakukan berdasarkan kondisi medis yang valid.
Ia menyampaikan bahwa menjaga stabilitas keuangan perusahaan asuransi dapat dilakukan dengan memastikan bahwa nasabah yang diterima memiliki kondisi kesehatan yang relatif baik. Karena itu, Ibrahim menekankan perlunya penerapan proses underwriting dan penilaian risiko yang ketat guna menghindari kesalahan dalam implementasi skema co-payment.